SEMAR
Wayang merupakan bahasa simbol kehidupan yang bersifat rohaniah
daripada jasmaniah. Jika orang melihat pagelaran wayang, yang dilihat bukan
wayangnya, melainkan masalah yang tersirat dalam lakon wayang itu. Wayang
purwa dikalangan masyarakat awam lebih dikenal dengan nama wayang kulit,
bahkan ada juga yang menamakan wayang kulit purwa. Karena wayang kulit itu
berjumlah banyak sedangkan wayang purwa adalah jenis pertunjukan wayang
kulit dengan lakon-lakon semula bersumber pada cerita-cerita kepahlawanan india
yaitu Ramayana dan Mahabarata (Guritno, 1988).
Dalam bahasa krama (halus) wayang purwa dinamakan ringgit purwa atau
ringgit wacucal. Hazeu (1979) menyebut bahwa wayang adalah identik dengan
kata ringgit. Sehingga wayang atau ringgit sangat berkaitan dengan susunan
rumah tradisional Jawa yang biasanya terdiri atas bagian-bagian ruangan; yaitu
emper, pedhopo, omah buri, gandhok, sethong, dan bagian yang disebut
pringgitan (tempat yang biasanya untuk menggelar atau mementaskan
pertunjukan wayang), yaitu bagian yang menghubungkan antara penhopo ’rumah
bagian depan’ dengan omah buri ’bagian belakang’.
Hazeu (1979) berpendapat bahwa asal-muasal wayang berasal dari Jawa
asli, bukanlah meniru atau mencontoh dari Hindu, denagn lima argumen, yaitu :
(a) nama-nama peralatan wayang semua adalah kata asli jawa, (b) wayang itu
telah ada semenjak sebelun bangsa Hindu datang ke Jawa, (c) struktur lakon
wayang digubah menurut model yang amat tua, (d) cara bercerita dalang juga
mengikuti tradisi yang amat tua, dan (e) desain teknis, gaya susunan lakonan
berkhas Jawa. Pischel (1982) membuktikan bahwa asal-muasal wayang yang dari
india itu berasal dari kata rupopajivase (terdapat pada Mahabarata )dan kata
rupparupakam (terdapat dalam Therigatha ). Namun pendapat ini lemah, karena
kata-kata itu disebut dalam kitab-kitab hanyalah sambil lalu.Krom, berpendapat
bahwa wayang adalah Kreasi Hindu Jawa, suatu sinkretisme; alasannya: (1)
wayang hanya terdapat di daerah Jawa Bali, yaitu daerah yang paling kuat banyak
mengalami pengaruh dari kebudayaan Hindu; (2) India lama telah mengenal teater
bayang; (3) cerita-cerita wayang menggunakan atau berasal wiracarita India; (4)
adanya hubungan wayang dan penyembahan arwah nenek moyang (Hamzah
Amir, 1991)
Brendes (1991) juga perpendapat bahwa wayang adalah asli Jawa aeperti
juga gamelan, batik, dan sebagainya. Wayang sangat erat hubungannya dengan
kehidupan sosial, kultural dalam religius bangsa Jawa. Misalnya tokoh Semar,
Gareng, Petruk dan Bagong berasal dari Jawa yakni para nenek moyang yang di
pertuhankan.
Dalam pertunjukan wayang purwa dewasa ini adegan yang amat dinantinanti
dan digemari para penonton, utamanya para genarasi muda adalah adegan
limbukan (dua abdi wanita) dan gara-gara (empat abdi pria). Dalam adegan garagara
tersebut muncullah keempat tokoh punokawan, dan tokoh punokawan itu
melambangkan rakyat atau kawulo alit (Sri Mulyono, 1978)
Dalam dunia pewayangan istilah sedulur papat lima pancer merupakan
simbolisasi ksatria dan empat abdinya. Sedulur papat adalah punokawan, lima
pancer adalah ksatria (Yudistira, Arjuna, Bima, Sadewa, Nakulo)
Admin (2007) Dalam hal ini, yang dinamakan punokawan yakni Semar
sebagai pamomong keturunan Saptaarga ditemani oleh tiga anaknya, yaitu;
Gareng, Petruk dan Bagong sebagai pengiring para ksatria Pandawa. Kehadiran
mereka seringkali hanya dianggap sebagai tambahan yang kurang diperhitungkan
dan untuk menghadirkan lelucon saja, padahal kerap menentukan arah perubahan.
Ke lima tokoh ini menduduki posisi penting dalam kisah pewayangan. Kisah
Mereka diawali mulai dari sebuah pertapaan Sapta arga atau pertapaan lainnya.
Setelah mendapat berbagai macam ilmu dan nasihat-nasihat dari Sang Begawan,
mereka turun gunung untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, dengan
melakukan tapa ngrame. Dalam perjalanannya, Punokawan harus menemani
perjalanan sang Ksatria dalam memasuki “hutan”, memasuki sebuah medan
medan kehidupan yang belum pernah dikenal, gelap, penuh semak belukar,
banyak binatang buas, makhluk jahat yang siap menghadangnya, bahkan jika
lengah dapat mengancam jiwanya, sehingga berhasil keluar “hutan” dengan
selamat, sampai sang Ksatria dapat menyingkirkan segala penghalang dan berhasil
menyelesaikan tugas hidupnya dengan selamat.
Kata punokawan menurut pedalangan berasal dari kata pana, artinya
cerdik, jelas, dan cermat dalam pengamatan; sedang kata kawan berarti teman atau
sahabat, jadi punokawan berarti teman atau sahabat (pamong) yang sangat cerdik,
dapt dipercaya serta mempunyai pandangan yang luas serta pengamatan yang
tajam dan cermat; atau dalam bahasa jawa dikenal dengan istilah tanggap ing
sasmita lan limpad pasanging grahita ’peka dan peduli terhadap masalah
(www.wayang-indonesia.com).
Pandam Guritno (1976) menyatakan bahwa punokawan dalam
pewayangan merupakan pengejawantahan sifat, watak, manusia dengan
lambangnya masing-msing Yaitu: Semar lambang Karsa (kehendak atau niat),
Gareng lambang cipta (pikiran, rasio, nalar), Petruk lambang rasa (perasaan),
Bagong lambang karya (usaha, perilaku, perbuatan). Punokawan yang berjumlah
empat itu melambangkan cipta-rasa-karsa dan karya manusia. Jadi punokawan (
pana ’tahu’ terhadap empat tersebut diatas, dan kawan ’teman’ manusia hidup di
dunia. Empat hal tersebut bila diurutkan berdasarkan kepentingannya adalah
karsa, rasa, cipta dan karya)
Tokoh punokawan yang selalu mengikuti para satria yang berbudi luhur itu
ada 4 yaitu: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun, dari keempat tokoh
tersebut yang paling menjadi panotan adalah semar. Ki Lurah Semar sering di
sebut pamong agung, karena merupakan pengayom dan pelindung orang lain,
selalu menegakkan kebenaran dan keadilan. Karena tugas Semar selain bertindak
sebagai penasihat dalam kesukaran atupun bertindak agresif dan emosional bagi
para satria, juga sebagai penghibur sewaktu para satria yang diasuhnya sedang
dalam kesusahan. Bahkan semar menjadi penyelamat dan penolong pada waktu
satria dalam bahaya, sehingga sering disebut terang ilahi yang berkewajiban
mewujudkan watak dan perilaku moral yang baik, yaitu watak yang luhur, welas
asih, gotong royong dan mengutamakan kepentingan orang banyak
Ibid (2003) Asal-usul Semar adalah dari telor: kulitnya menjadi Togog
yang menjadi simbol hidup laksana kulit tanpa isi yang mementingkan duniawi
semata oleh karena itu ia mengabdi pada raksasa sebagai simbul angkaramurka,
putihnya menjadi Semar yang menjadi simbol hidup yang penuh kesucian yang
mementingkan isi dari pada kulitnya. Ia selalu memihak kepada kebenaran dan
keadilan dan meluruskan segala bentuk penyelewengan oleh karena itu ia
mengabdi kepada raja dan ksatria utama, kuningnya menjadi Manikmaya yang
mencerminkan kekuasaan karena itu ia dinobatkan menjadi rajanya dewa di
Kahyangan "Junggring Salaka" sebagai Bhatara Guru.
Biarpun Semar itu manusia atau rakyat biasa yang menjadi panakawan
para raja dan ksatria, tapi Semar memiliki kesaktian yang melebihi Bhatara Guru
yang rajanya para Dewa. Semar selalu bisa mengatasi kesaktian dari Bhatara
Guru apabila ingin mengganggu Pendawa Lima yang dalam asuhannya. Banyak
arti simbolik dalam masalah ini yang penulis percayai mungkin mendekati
kebenaran adalah :Bhatara Guru dalam agama Hindu adalah Dewa Shiva yang
dipuja oleh pemeluk agama Hindu, sedangkan Semar adalah tokoh asli Jawa / asli
Indonesia yang mungkin juga dipuja saat sebelum kedatangan agama Hindu.
Secara simbolik bisa diartikan bahwa existensi dari budaya atau nilai-nilai luhur
dari Jawa kuno selalu akan bisa mengatasi dari pengaruh Hindu dan secara
simbolik selalu memenangkan tokoh Semar terhadap tokoh-tokoh dewa Hindu.
Dan hanya dengan menerima tokoh Semar agama Hindu bisa berkembang di
Indonesia. Hal ini sekali lagi dibuktikan dengan apa yang dilakukan oleh Sunan
Kalijaga yang menggunakan senjata Puntadewa jamus "Kalimasada" sebagai
transisi dari Hindu menjadi Islam yaitu dengan menimbulkan kisah hutan
Ketangga yang mengisahkan pertemuannya dengan Puntadewa dan meng-
Islamkan dengan menjabarkan jamus Kalimasada sebagai Kalimat Sahadat.
Dan peng-Islaman masayarakat Jawa tidak melepas sama sekali tokoh yang
sudah ada dari zaman sebelum Hindu dari sekarang seperti Semar yang
perilakunya dijadikan teladan ataupun panutan masyarakat Jawa. Dan disadari
oleh Sunan Kalijaga bahwa Islam hanya akan bisa diterima oleh masyarakat
Jawa apabila kesenangan orang Jawa akan "wayang purwo / kulit" tidak diganggu
yang sebetulnya kesenangan orang Jawa kepada "wayang kulit / purwo"
bukan sekedar sebagai tontonon tapi suatu upaya pelestarian dari petuah atau
etika atau budaya Jawa yang berumur sangat tua yang masih hidup sampai
sekarang oleh karena itu wajah Islam di Jawa atau mungkin juga di Indonesia
mempunyai ciri budaya yang berbeda dengan Islam di Saudi Arabia tanpa
mengurangi makna Islam yang mendasar (www.wayang-indonesia.com).
Komentar