SEDEKAH BUMI

Sedekah Bumi adalah semacam upacara atau jenis kegiatan yang intinya untuk mengingat kepada Sang Pencipta, Allah SWT, yang telah memberikan rahmatNYA kepada manusia di muka bumi ini, khususnya kepada kelompok petani yang hidupnya bertopang pada hasil bumi. Di perdesaan, atau pinggiran kota, yang masyarakatnya hidup dari bertani (palawija) biasanya melakukan kegiatan sedekah bumi setahun sekali. Mereka percaya bahwa dengan bersyukur kepada Allah maka Allah SWT akan menambah kenikmatan-kenikmatannya lagi, Allah akan menyuburkan tanah mereka, Allah akan menambah hasil panen mereka, dan Allah akan menghilangkan "paceklik" pada hasil bumi mereka. Maka dari itu, masyarakat dengan sadar dan penuh semangat melakukan kegiatan ritual ini, meskipun dengan cara yang sederhana. Biasanya mereka melakukan dengan cara "pamer" hasil bumi, yaitu dengan melakukan pawai karnaval keliling desa dengan mengarak hasil bumi, ada ketela pohong, mangga, durian, jagung, ketimun, petai, dsb, tergantung dari hasil bumi yang mereka peroleh dari ladang yang mereka tanami. Demikian pula yang terjadi di Kelurahan Gedawang, Kecamatan Banyumanik beberapa hari yang lalu, masyarakat dengan semangat pawai keliling kelurahan dengan mambawa hasil bumi mereka. Tetapi, seiring dengan perkembangan jaman, lokasi di pinggiran kota Semarang kebanyakan sudah berubah menjadi daerah sub-urban, banyak ladang yang berubah jadi permukiman, maka yang diarak pun sudah bukan hasil bumi melainkan berupa "nasi tumpeng". Setelah mengarak keliling desa, mereka kemudian makan bersama, dan dilanjutkan dengan menyaksikan pagelaran 'wayang kulit'. Kenapa wayang kulit?, sebab cerita di 'wayang kulit' ini biasanya mengandung banyak petuah, banyak nasehat untuk menjadi manusia yang utama. Kita diingatkan untuk jangan berbuat jahat, jangan serakah, orang yang berbuat baik pasti akhirnya akan berjaya. Itulah kegiatan sedekah bumi yang masih berlangsung di beberapa kelurahan di pinggiran kota Semarang, termasuk di kelurahan Gedawang, Banyumanik yang lokasinya sudah mulai banyak dibangun permukiman oleh pengembang. Sedekah Bumi kadang disebut juga sebagai acara APITAN, mengapa? Sebab acara sedekah bumi biasanya dilaksanakan pada bulan APIT, yaitu bulan diantara dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha, “apit” artinya terjepit, terjepit diantara dua hari raya), dan bulan APIT (tulisan Jawa = HAPIT) itu adalah nama bulan setelah bulan Syawal (urutannya adalah bulan Puasa, Syawal, Hapit, Besar, dst). Sebagaimana halal bihalal yang dilakukan pada bulan Syawal, orang Jawa ada yang menyebutnya sebagai acara Syawalan, demikian pula Sedekah Bumi karena dilaksanakan pada bulan Hapit, maka disebut APITAN atau HAPITAN. Perlu kita ketahui bersama, sekarang ini sifat dari acara tersebut sebenarnya sudah merupakan acara yang sifatnya sekedar "nguri-uri budaya tradisi Jawa", seiring dengan perubahan jaman, karena orang kota sudah tidak lagi hidup dari hasil bumi, maka acara tersebut lama kelamaan pasti akan tergerus oleh proses urbanisasi, akan hilang ditelan masa. Maka dari itu harus ada cara dan semangat tinggi untuk mengaktualisasikan budaya atau tradisi ini agar tidak hilang begitu saja. Pengaturan perijinan dalam pengembangan wilayah pinggiran kota hendaknya diatur dengan menyisakan sekian bidang tanah yang dipertahankan untuk pertanian, hal itu di samping bermanfaat untuk penghijauan sekaligus untuk mempertahankan tradisi Apitan, agar dalam Apitan yang diarak keliling adalah benar-benar hasil bumi asli dari daerah tersebut. Para orang tua harus mulai sadar, bahwa anak-anaknya sekarang banyak yang menjadi pegawai (orang kantoran, bukan petani lagi), yang muda juga harus mengerti bahwa Apitan itu tradisi nenek-moyang mereka yang masih di pelihara dan dijaga oleh para orang tua. Agar kedua generasi ini tidak saling menyalahkan dan tidak akan timbul friksi dikemudian hari tentang perlu atau tidaknya diadakan acara Apitan, kiranya para budayawan harus berkiprah dan berfikir untuk mengaktualisasikan upacara sedekah bumi dalam konteks wilayah yang masih dalam kondisi sub-urban atau bahkan sudah total berubah menjadi daerah urban. Sebagaimana acara “dugderan”, sebanarnya acara “Apitan” bisa “dijual” oleh Dinas Pariwisata sebagai atraksi wisata di bulan Hapit di Kota Semarang, dan kegiatan ini bisa diliput oleh TV baik yang lokal maupun nasional untuk lebih dipublikasikan sebagai tradisi memelihara kelestarian lingkungan dalam rangka menjaga stabilitas hasil bumi.

Komentar

Retno Puspitosari sayuto mengatakan…
Hebat sekali bapak yg satu ini, bukan sekedar seorang insinyur (sipil?) tapi juga seorang antropolog. Dua ilmu dipadukan, nguri2 kabudayan tapi juga menjaga lingkungan supaya tetap ijo royo...royo. Angkat topi dech pak dengan idenya yg cemerlang.

Postingan populer dari blog ini

Gerakan Tanah (Longsoran)

SEMAR

TATA RUANG BERBASIS PADA KESESUAIAN LAHAN