BENTENG KOTA LAMA SEMARANG
Di lahan parkir bus Damri jalan Empu Tantular Semarang, telah dilakukan penggalian oleh tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta, mereka menemukan struktur bangunan Benteng Kota Lama Semarang (Kompas Jateng, 30 Mei 2009). Dengan temuan ini mulai kembali tumbuh semangat untuk menghidupkan Kota Lama menjadi salah satu daerah tujuan wisata di kota Semarang. Yaitu dengan membenahi kota lama pada pernik-pernik sejarah yang bersifat tangibel dan intangibel, diharapkan kawasan kota lama akan menjadi alternatif bentuk atraksi wisata yang bisa ditawarkan. Setiap benda, apalagi artefak bangunan dengan bentuk arsitektur yang indah dan punya nilai sejarah yang tinggi, menarik untuk dikemas menjadi bagian dari pengembangan kota dan pariwisata.
Kota lama Semarang memiliki banyak bangunan dengan nilai arsitektur yang tinggi, sehingga layak kalau kawasan ini dijadikan kawasan konservasi bangunan kuno. Dalam disiplin ilmu konservasi yang relatif masih baru di Indonesia, kita kenal ada beberapa sasaran utama konservasi untuk lingkungan binaan, yaitu konservasi bangunan individual, konservasi lingkungan bersejarah (kuno), konservasi kota bersejarah (kuno), dan konservasi ruang terbuka bersejarah (historic landscape). Catanese dan Snyder menyebutkan ada beberapa kriteria layak konservasi, bangunan atau lingkungan binaan tersebut harus lolos dari kajian beberapa aspek, yaitu estetika, kejamakan, kelangkaan, peran sejarah, keistimewaan, dan perlu dipertimbangkan perannya dalam memperkuat makna kawasan. Setelah kelayakan didapat, barulah membahas cara pelestariannya, apakah dengan cara restorasi/rehabilitasi, rekonstruksi, revitalisasi, dst.
Kenyataan yang kita hadapi di lapangan, bahwa ternyata bangunan yang layak untuk dikonservasi ternyata sudah ada dan banyak yang sudah menjadi milik pribadi, atau di lokasi yang sudah berubah kepemilikan sebagaimana temuan terhadap Benteng Kota Lama di Semarang ini, rasanya garis dinding benteng sebagian besar ada di bawah lahan kepemilikan pribadi. Demikian pula lingkungan yang ada di dalam benteng tersebut banyak sudah yang menjadi milik pribadi. Apakah bisa pemerintah sekedar membuat peraturan penetapan lokasi kawasan benda bersejarah, kemudian menyusun regulasi untuk mengatur pemilik lahan atau pemilik bangunan harus begini dan begitu? Untuk itu mestinya kita harus berhati-hati, minimalnya kita harus kembali pada regulasi dasarnya, yaitu UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Disebutkan di sana dalam pasal 17, ayat 1: Setiap kegiatan yang berkaitan dengan penetapan suatu lokasi sebagai situs disertai dengan pemberian ganti rugi kepada pemilik tanah yang bersangkutan. Ayat 2: Pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Juga di pasal 18 ayat 1) menyebutkan: Pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab Pemerintah. Kemudian ayat 2): Masyarakat, kelompok, atau perorangan berperanserta dalam pengelolaan benda cagar budaya dan situs. Sayangnya, bentuk peran serta yang diatur dalam PP 19 Tahun 1995 hanyalah tentang pemeliharaan dan pemanfaatan benda cagar budaya di museum. Rasanya belum ada yang mengatur benda cagar budaya yang berupa artefak arsitektur perkotaan di lingkungan kawasan kota lama (kuno), sehingga seolah-olah penanganannya menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya, atau bisa lebih parah lagi kalau tidak akan dilakukan kegiatan apapun terhadap artefak ini.
Belajar dari yang pernah terjadi di Kota Gede Yogyakarta, konon masyarakat Kota Gede mau berpartisipasi menjaga kualitas artefak arsitektur bangunan yang menjadi milik pribadi mereka, yaitu dengan memberdayakan masyarakat melalui pemahaman arti pentingnya sebuah artefak fisik arsitektur bangunan. Masyarakat diajak mengatur lingkungan sehingga menjadi sedemikan rupa menuju kembali ke wajah aslinya atau paling tidak mendekati asli, sehingga wilayah ini bisa menjadi sesuatu yang menarik untuk dijual sebagai atraksi wisata. Masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kegiatan pariwisata dengan menjual aset arsitektur tradisional berupa bentuk bangunan yang mereka miliki, lingkungan spesifik dengan lorong dan pagar halaman yang tinggi, pelataran luas, dan kehidupan budaya mereka (intangible), dsb. Untuk itu mestinya di kota lama Semarang segera dilakukan kajian ulang inventarisasi bangunan kuno, lakukan analisis kelayakan untuk kegiatan konservasi, baru menyusun langkah kebijakan dalam rangka pengembangan kawasan yang sekaligus sebagai pengembangan kepariwisataan kota. Libatkan masyarakat lokal dan masyarakat pecinta bangunan bersejarah untuk bisa memberdayakan para pemilik bangunan, mensinkronkan program pemerintah dengan keinginan masyarakat setempat.
Dengan ditemukannya artefak benteng kota lama, akan diketahui secara jelas deliniasi batas benteng, maka dapat ditemukan siapa saja pemilik lahan dan bangunan yang masuk dalam wilayah benteng kota lama, ajak mereka untuk bersama-sama merancang pengembangan wilayah guna merevitalisasi kawasan tersebut dalam rangak pengembangan kota dan pariwisata. Pemerintah berperan sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku utamanya, dibantu oleh para narasumber. Semoga saja temuan artefak benteng oleh tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta ini tidak muspro, bisa dikembangkan lebih lanjut untuk menjadikan Semarang lebih baik, Semarang lebih membanggakan, dan rakyat lebih sejahtera. Kalau kota bisa membuat rakyatnya bangga, maka pasti rakyat akan ikut memelihara dan menjaganya.
PARFI KHADIYANTO Dosen Pelestarian Kota, PWK FT UNDIP
Komentar
wah ulasan tetnag kota lama bikin gregetan
ada foto foto jaman dahulu gak nih?
tetnang kota lama?
EROPA BANGET MAN!!!