ADAKAH TIGA KEBENARAN ITU?


Kalau disederhanakan ada tiga model kebenaran yang berlaku dan dialami manusia. Pertama, benarnya sendiri (benere dhewe). Kedua, benarnya orang banyak (benere wong akeh). Dan, ketiga kebenaran hakiki (bener kang sejati).

Sejak mendidik bayi sampai menjalankan penyelenggaraan negara, manusia harus sangat peka dan waspada terhadap sangat berbahayanya jenis kebenaran yang pertama. Artinya, orang yang berlaku berdasarkan benarnya sendiri, pasti mengganggu orang lain, menyiksa lingkungannya, merusak tatanan hidup bersama, dan pada akhirnya pasti akan menghancurkan diri si pelakunya sendiri, pongah, arogan, tak mau dinasehati, tak pernah merasa bersalah....

Benarnya sendiri melahirkan Fir'aun-Fir'aun besar dalam skala negara dan dunia, serta memproduk Fir'aun-Fir'aun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di organisasi, bahkan di warung dan gardu.

Lalu bagaimana dengan benarnya orang banyak? Apakah orang banyak pasti benar? Meskipun kebenaran mayoritas itulah pencapaian tertinggi yang bisa dibayangkan oleh ilmu pengetahuan yang paling rasional.

Tetapi sebenarnya sejarah ummat manusia juga pernah mencatat kengerian terhadap diktatorisme mayoritas? Bagaimana kalau kebanyakan orang dalam suatu bangsa tidak punya kemampuan untuk memilih mana yang benar, mana yang baik, mana tokoh, mana pemimpin, mana panutan, mana politisi, dan mana negarawan, bahkan mana Ulama, mana Sufi dan lain sebagainya? Yang dilihat hanya kulitnya, yang bisa memberinya kenikmatan saat ini, yang populer, yang ngganteng, yang cantik, yang lemah gemulai....bukan pada hakekat kebenaran itu sendiri.

Tragedi besar dan panjang akibat mendasarkan kebenaran mayoritas yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu di hari-hari kemarin yang dialami bangsa Indonesia ini mungkin masih dan sedang diingat kembali oleh sebagian anak bangsa untuk dua tujuan utama, yang pertama, mengingat untuk jangan mengulang lagi, dan yang kedua, mengingat untuk mencari keuntungan pribadi...untuk menggerakkan massa?
Kesengsaraan suatu kelompok kadang dianggap sebagai hiburan bagi kelompok lain, naudzubillah himindzalik, betapa munafiknya manusia itu......kapan kita bisa bersyukur?, kapan kita bisa mau jujur?, dan kapan kita tidak akan mendewakan kemenangan dan kemegahan?....tetapi kini sistem politik kita terlanjur tidak lagi mengutamakan muyawarah untuk mufakat, sayangnya spirit dan jiwa perilaku belum mampu mengikuti perubahan cara itu....apapun harus serba voting untuk mengetahui siapa dan mana yang paling banyak, itulah yang dianggap benar dan harus dimenangkan...wouw!
Akhirnya, yang terjadi hanya berlomba menghamburkan uang......

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gerakan Tanah (Longsoran)

SEMAR

TATA RUANG BERBASIS PADA KESESUAIAN LAHAN