PARTAI TANPA ANGGOTA

Sejak krisis keuangan global, yang merebak lebih dari satu setengah tahun silam, telah banyak peringatan akan ancaman kemiskinan global.

Indonesia tidak luput, terseret gelombang pemutusan hubungan kerja yang berujung kemiskinan, akibat krisis yang melemahkan pertumbuhan ekonomi.

Bappenas memprediksi upaya penurunan kemiskinan bakal tertahan. Berdasarkan asumsi dan parameter Bappenas, jumlah orang miskin bakal lebih tinggi dibandingkan target APBN 2009 (Kompas, 13/2). Memang, angka-angka tersebut masih lebih rendah dari 35 juta orang miskin pada tahun 2008 yang diperkirakan oleh Badan Pusat Statistik.

Meskipun baru asumsi, angka-angka mengkhawatirkan itu tidak mustahil jadi kenyataan. Kondisinya bisa lebih parah jika tidak ada langkah antisipasi memadai.

Inflasi tinggi menyebabkan daya beli masyarakat anjlok, terutama yang berpenghasilan rendah. Pertumbuhan ekonomi rendah memperkecil penyerapan pekerja, sementara pencari kerja terus membanjir masuk pasar kerja sehingga penganggur bakal terus bertambah. Kedua indikator itu menjadi katalisator permasalahan kemiskinan.

Kita akui, berbagai kebijakan penanganan kemiskinan dan pengangguran akibat dampak krisis global untuk tahun 2009 telah dicanangkan pemerintah. Misalnya, bantuan langsung tunai selama dua bulan, alokasi 15 kilogram beras untuk 18,2 juta rumah tangga sasaran, perluasan daerah program keluarga harapan, ekspansi program nasional pemberdayaan mandiri (PNPM). Belum lagi stimulus proyek infrastruktur sebagai lokomotif pergerakan berbagai bisnis, sehingga ada potensi penyerapan tenaga kerja langsung maupun tidak langsung sekitar 3,9 juta orang.

Kalaupun semua itu dilaksanakan, apakah persoalan beres? Nyatanya, belum semua program berjalan, kita sudah dicemaskan soal kemungkinan kepulangan ratusan ribu tenaga kerja Indonesia dari luar negeri. Mereka tentu bakal menambah hiruk-pikuk pasar kerja.

Selain faktor eksternal, dari internal kita sendiri seolah tak ada habisnya. Dampak perubahan iklim, misalnya, kian ekstrem. Gelombang tinggi, banjir, longsor, badai, kian sering memorakporandakan ladang kehidupan rakyat.

Menghapus pengangguran dan kemiskinan, memakmurkan bangsa, memang target maksimal dan cita-cita luhur para founding fathers. Karena itu, siapa pun presiden berikut kabinetnya, itu akan selalu menjadi tantangan berat, dan isu yang sangat mudah dipolitisasi.

Menurut hemat kita, dibutuhkan antisipasi berupa perencanaan dan implementasi yang inovatif disertai kerja ekstra keras dan sungguh-sungguh. Bukan sekadar diomongkan, dicanangkan, lalu urusan dianggap beres.

Hal-hal kecil acap kali mendorong masyarakat untuk mengatasi masalahnya sendiri. Tetapi hal-hal kecil itu pun terkadang tidak bisa berjalan pada tahapan implementasi, hanya karena presiden, menteri, kepala daerah berbeda latar belakang partai. Ironis.

Padahal kita semua sudah tahu bahwa pemimpin negeri ini dalam bertindak, mengambil keputusan, harus berprinsip demi negara bukan demi partai, sayangnya, kalau partai tidak mendapatkan manfaat secara langsung dari program pemerintah yang berkuasa, atau program itu tidak mampu mengangkat popularitas partai dimata masyarakat secara luas, maka partai tersebut akan berusaha mati-matian untuk mengganjal pelaksanaannya, akan menghadang dengan segala macam cara supaya tidak terlaksana, dsb.

Itulah gambaran negeri multi partai yang masyarakatnya belum siap berpartai. Muncullah banyak partai tanpa anggota, hanya pengurus saja....hiks. Aneh.
(Tajuk Rencana KOMPAS, dengan tambahan)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gerakan Tanah (Longsoran)

SEMAR

TATA RUANG BERBASIS PADA KESESUAIAN LAHAN