PEMAHAMAN tentang PERSEPSI
Hasil interaksi individu dengan obyek menghasilkan persepsi individu tentang obyek itu. Jika persepsi berada dalam batas-batas optimal maka individu dikatakan dalam keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang. Keadaan ini biasanya ingin dipertahankan oleh individu karena menimbulkan perasaan-perasaan yang paling menyenangkan (Sarwono, 1992). Sebaliknya, jika obyek dipersepsikan sebagai di luar batas-batas optimal (terlalu besar, kurang keras, kurang dingin, terlalu aneh, terlalu jelek, dan sebagainya) maka individu itu akan mengalami stres dalam dirinya. Tekanan-tekanan energi dalam dirinya meningkat sehingga orang itu harus melakukan coping (penyesuaian) untuk menyesuaikan dirinya atau menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya. Selanjutnya mereka harus melakukan perbuatan penyesuaian diri (coping behavior). Sebagai hasil dari coping behavior, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, tingkah laku coping itu tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan. Gagalnya tingkah laku coping ini menyebabkan stres berlanjut dan dampaknya bisa berpengaruh pada kondisi individu maupun persepsi individu. Kemungkinan kedua, tingkah laku coping yang berhasil, maka terjadi penyesuaian antara diri individu dengan lingkungannya (adaptasi) atau penyesuaian keadaan lingkungan pada diri individu (adjustment). Dampak dari keberhasilan ini juga bisa mengenai individu maupun persepsinya. Jika dampak dari tingkah laku coping yang berhasil terjadi berulang-ulang maka kemungkinan akan terjadi penurunan tingkat toleransi terhadap kegagalan atau kejenuhan. Di samping itu, terjadi peningkatan kemampuan untuk menghadapi stimulus berikutnya. Kalau efek dari kegagalan yang terjadi berulang-ulang, kewaspadaan akan meningkat. Namun, pada suatu titik akan terjadi gangguan mental yang lebih serius seperti keputus-asaan, kebosanan, perasaan tidak berdaya, dan menurunnya prestasi sampai pada titik terendah.
Otto Soemarwoto (1987), mengungkapkan bahwa adaptasi itu ada tiga macam yaitu adaptasi fisiologi, adalah proses adaptasi melalui faal, contohnya orang yang hidup di lingkungan tercemar, dalam tubuhnya berkembang kekebalan terhadap infeksi muntah berak, mereka tahan terhadap kondisi ini karena tubuhnya sudah mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang kurang baik. Maka dari itu sering kita lihat orang bisa enjoy hidup di daerah kumuh. Kemudian yang kedua adaptasi morfologi, yaitu terjadi perubahan bentuk fisik pada dirinya. Orang Eskimo yang hidup di daerah Arktik (Es Kutub) yang dingin mempunyai bentuk tubuh yang pendek dan kekar, bentuk yang demikian mempunyai nisbah luas permukaan tubuh terhadap volume tubuh yang kecil, sehingga panas yang hilang dari tubuh dapat berkurang, berbeda dengan orang Afrika yang hidup di daerah panas, biasanya memiliki tubuh yang kurus dan tinggi (langsing), agar panas badan dapat mudah terlepas. Yang ketiga adalah adaptasi kultural, yaitu adaptasi yang terjadi dengan melakukan perubahan pada lingkungan tempat hidup agar tercapai keseimbangan dengan dirinya. Contohnya, penggunaan alat pendingin ruangan, bentuk rumah panggung di daerah banjir, ruang tamu yang tanpa kursi bagi guru ngaji karena sering dipakai kelas dengan jumlah siswa yang banyak, dsb. Jadi sebenarnya, adjusment adalah bagian dari adaptasi juga, yaitu adaptasi dengan melakukan perubahan bentuk tempat hidup, dan mungkin tanpa mengurangi keinginan yang ada dalam diri manusia, atau kalau terjadi pengurangan relatif kecil. Maka di sini proses adjusment dimasukkan dalam pemahaman perilaku adaptasi. Adaptasi dengan melakukan perubahan bentuk lingkungan, adalah adaptasi kultural (adjusment), manusia sebagai pelaku adaptasi merubah lingkungan agar sesuai dengan harapannya.
Penjelasan mengenai bagaimana manusia mengerti dan menilai lingkungan dapat didasarkan pada dua cara pendekatan. Pendekatan pertama adalah yang dinamakan pandangan konvensional. Bermula dari adanya rangsang dari luar individu (stimulus), individu menjadi sadar akan adanya stimuli ini melalui sel-sel syaraf reseptor (penginderaan) yang peka terhadap bentuk-bentuk energi tertentu (cahaya, suara, suhu). Bila sumber energi itu cukup kuat untuk merangsang sel-sel reseptor maka terjadilah penginderaan. Jika sejumlah penginderaan disatukan dan dikoordinasikan di dalam pusat syaraf yang lebih tinggi (otak) sehingga manusia bisa mengenali dan menilai obyek-obyek, maka keadaan ini dinamakan persepsi.
Secara umum, pandangan konvensional ini menganggap persepsi sebagai kumpulan penginderaan (sensation). Jadi, kalau kita melihat sebuah benda yang bisa bergerak cepat, punya roda empat maka kumpulan penginderaan itu akan diorganisasikan secara tertentu, dikaitkan dengan pengalaman dan ingatan masa lalu, dan diberi makna tertentu sehingga kita bisa mengenal benda itu sebagai mobil. Cara pandangan seperti ini dinamakan juga pendekatan konstruktivisme.
Akan tetapi, aktivitas mengenali obyek atau benda itu sendiri adalah aktivitas mental, yang disebut juga sebagai aktivitas kognisi (kesadaran yang didapat dari proses kerja pikiran yang dengannya orang akan waspada terhadap obyek yang ada dalam pikirannya). Maka sebetulnya otak tidak secara pasif menggabung-gabungkan kumulasi (tumpukan) pengalaman dan memori, melainkan aktif untuk menilai, untuk memberi makna, dan sebagainya. Karena adanya fungsi aktif dari kesadaran manusia, pandangan ini digolongkan juga kepada pandangan fungsionalisme. Jadi secara konvensionalisme, persepsi adalah kegiatan mengkonstruksikan dari suatu fungsi.
Pendekatan kedua adalah pendekatan ekologik. Pendekatan ini dikemukakan oleh Gibson (Fisher et al, dalam Sarwono 1992). Menurut Gibson, individu tidaklah menciptakan makna-makna dari apa yang diinderakannya karena sesungguhnya makna itu telah terkandung dalam stimulus itu sendiri dan tersedia untuk organisme yang siap menyerapnya. Ia berpendapat bahwa persepsi terjadi secara spontan dan langsung. Jadi, bersifat holistik. Spontanitas itu terjadi karena organisme selalu menjajaki (eksplorasi) lingkungannya dan dalam penjajakan itu ia melibatkan setiap obyek yang ada di lingkungannya dan setiap obyek menonjolkan sifat-sifatnya yang khas untuk organisme bersangkutan. Sebuah pohon, misalnya tampil dengan sifatnya yang berdaun rindang dan berbatang besar maka sifat ini menampilkan makna buat manusia sebagai tempat berteduh. Sifat-sifat yang menampilkan makna ini oleh Gibson dinamakan affordances (afford = memberikan, menghasilkan, bermanfaat). Affordances atau kemanfaatan dari setiap obyek adalah khas untuk setiap jenis makhluk (spesies) walaupun kadang-kadang ada juga tumpang tindihnya. Pohon rindang yang memberikan sifat keteduhan untuk manusia, mungkin memberikan sifat lain untuk burung, semut, atau anjing sehingga masing-masing makhluk mendapatkan maknanya sendiri-sendiri dari pohon tersebut. Burung membuat sarangnya di ranting-ranting pohon dan semut membuat rumahnya dalam batang pohon, sedangkan anjing menggunakan pohon itu untuk kencing. Dengan kata lain, menurut Gibson, obyek-obyek atau stimuli itu sendiri pun aktif berinteraksi dengan makhluk yang mengindera sehingga akhirnya timbullah makna-makna spontan itu. Adapun kelebihan manusia dari makhluk lainnya adalah ia bisa mengubah kemanfaatan dari suatu stimulus sehingga lebih memenuhi keperluannya sendiri. Kalau ia memerlukan sebuah rumah, maka pohon yang rindang itu bisa ditebang dan kayunya dibuat rumah. Sebagai rumah tentu saja kemanfaatan dari bekas pohon itu berbeda.Dengan akal dan budi yang dimiliki manusia, dan dengan pengalaman hidup yang dipunyai, manusia mampu mempersepsikan suatu kondisi, dan persepsi ini sangat individualistis sifatnya, yaitu berbeda untuk setiap manusia, tergantung dari pengalaman hidup yang dijalani dan ekspektasi yang diinginkan. Ketika seseorang menempati suatu lingkungan permukiman yang memiliki jalan beraspal atau di paving, akan merasa bangga dan senang apabila sebelumnya tidak pernah bertempat tinggal pada suatu lokasi yang demikian, tetapi sebaliknya akan merupakan hal biasa bagi yang lainnya, bahkan mungkin yang dipentingkan bukan jenis materialnya, tetapi lebih ke lebar jalan dan penghijauannya, demikian pula dalam hal mempersepsikan kondisi lingkungan yang selalu tergenang banjir, masing-masing individu akan berbeda dalam pemaknaan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki sebelumnya.
Otto Soemarwoto (1987), mengungkapkan bahwa adaptasi itu ada tiga macam yaitu adaptasi fisiologi, adalah proses adaptasi melalui faal, contohnya orang yang hidup di lingkungan tercemar, dalam tubuhnya berkembang kekebalan terhadap infeksi muntah berak, mereka tahan terhadap kondisi ini karena tubuhnya sudah mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang kurang baik. Maka dari itu sering kita lihat orang bisa enjoy hidup di daerah kumuh. Kemudian yang kedua adaptasi morfologi, yaitu terjadi perubahan bentuk fisik pada dirinya. Orang Eskimo yang hidup di daerah Arktik (Es Kutub) yang dingin mempunyai bentuk tubuh yang pendek dan kekar, bentuk yang demikian mempunyai nisbah luas permukaan tubuh terhadap volume tubuh yang kecil, sehingga panas yang hilang dari tubuh dapat berkurang, berbeda dengan orang Afrika yang hidup di daerah panas, biasanya memiliki tubuh yang kurus dan tinggi (langsing), agar panas badan dapat mudah terlepas. Yang ketiga adalah adaptasi kultural, yaitu adaptasi yang terjadi dengan melakukan perubahan pada lingkungan tempat hidup agar tercapai keseimbangan dengan dirinya. Contohnya, penggunaan alat pendingin ruangan, bentuk rumah panggung di daerah banjir, ruang tamu yang tanpa kursi bagi guru ngaji karena sering dipakai kelas dengan jumlah siswa yang banyak, dsb. Jadi sebenarnya, adjusment adalah bagian dari adaptasi juga, yaitu adaptasi dengan melakukan perubahan bentuk tempat hidup, dan mungkin tanpa mengurangi keinginan yang ada dalam diri manusia, atau kalau terjadi pengurangan relatif kecil. Maka di sini proses adjusment dimasukkan dalam pemahaman perilaku adaptasi. Adaptasi dengan melakukan perubahan bentuk lingkungan, adalah adaptasi kultural (adjusment), manusia sebagai pelaku adaptasi merubah lingkungan agar sesuai dengan harapannya.
Penjelasan mengenai bagaimana manusia mengerti dan menilai lingkungan dapat didasarkan pada dua cara pendekatan. Pendekatan pertama adalah yang dinamakan pandangan konvensional. Bermula dari adanya rangsang dari luar individu (stimulus), individu menjadi sadar akan adanya stimuli ini melalui sel-sel syaraf reseptor (penginderaan) yang peka terhadap bentuk-bentuk energi tertentu (cahaya, suara, suhu). Bila sumber energi itu cukup kuat untuk merangsang sel-sel reseptor maka terjadilah penginderaan. Jika sejumlah penginderaan disatukan dan dikoordinasikan di dalam pusat syaraf yang lebih tinggi (otak) sehingga manusia bisa mengenali dan menilai obyek-obyek, maka keadaan ini dinamakan persepsi.
Secara umum, pandangan konvensional ini menganggap persepsi sebagai kumpulan penginderaan (sensation). Jadi, kalau kita melihat sebuah benda yang bisa bergerak cepat, punya roda empat maka kumpulan penginderaan itu akan diorganisasikan secara tertentu, dikaitkan dengan pengalaman dan ingatan masa lalu, dan diberi makna tertentu sehingga kita bisa mengenal benda itu sebagai mobil. Cara pandangan seperti ini dinamakan juga pendekatan konstruktivisme.
Akan tetapi, aktivitas mengenali obyek atau benda itu sendiri adalah aktivitas mental, yang disebut juga sebagai aktivitas kognisi (kesadaran yang didapat dari proses kerja pikiran yang dengannya orang akan waspada terhadap obyek yang ada dalam pikirannya). Maka sebetulnya otak tidak secara pasif menggabung-gabungkan kumulasi (tumpukan) pengalaman dan memori, melainkan aktif untuk menilai, untuk memberi makna, dan sebagainya. Karena adanya fungsi aktif dari kesadaran manusia, pandangan ini digolongkan juga kepada pandangan fungsionalisme. Jadi secara konvensionalisme, persepsi adalah kegiatan mengkonstruksikan dari suatu fungsi.
Pendekatan kedua adalah pendekatan ekologik. Pendekatan ini dikemukakan oleh Gibson (Fisher et al, dalam Sarwono 1992). Menurut Gibson, individu tidaklah menciptakan makna-makna dari apa yang diinderakannya karena sesungguhnya makna itu telah terkandung dalam stimulus itu sendiri dan tersedia untuk organisme yang siap menyerapnya. Ia berpendapat bahwa persepsi terjadi secara spontan dan langsung. Jadi, bersifat holistik. Spontanitas itu terjadi karena organisme selalu menjajaki (eksplorasi) lingkungannya dan dalam penjajakan itu ia melibatkan setiap obyek yang ada di lingkungannya dan setiap obyek menonjolkan sifat-sifatnya yang khas untuk organisme bersangkutan. Sebuah pohon, misalnya tampil dengan sifatnya yang berdaun rindang dan berbatang besar maka sifat ini menampilkan makna buat manusia sebagai tempat berteduh. Sifat-sifat yang menampilkan makna ini oleh Gibson dinamakan affordances (afford = memberikan, menghasilkan, bermanfaat). Affordances atau kemanfaatan dari setiap obyek adalah khas untuk setiap jenis makhluk (spesies) walaupun kadang-kadang ada juga tumpang tindihnya. Pohon rindang yang memberikan sifat keteduhan untuk manusia, mungkin memberikan sifat lain untuk burung, semut, atau anjing sehingga masing-masing makhluk mendapatkan maknanya sendiri-sendiri dari pohon tersebut. Burung membuat sarangnya di ranting-ranting pohon dan semut membuat rumahnya dalam batang pohon, sedangkan anjing menggunakan pohon itu untuk kencing. Dengan kata lain, menurut Gibson, obyek-obyek atau stimuli itu sendiri pun aktif berinteraksi dengan makhluk yang mengindera sehingga akhirnya timbullah makna-makna spontan itu. Adapun kelebihan manusia dari makhluk lainnya adalah ia bisa mengubah kemanfaatan dari suatu stimulus sehingga lebih memenuhi keperluannya sendiri. Kalau ia memerlukan sebuah rumah, maka pohon yang rindang itu bisa ditebang dan kayunya dibuat rumah. Sebagai rumah tentu saja kemanfaatan dari bekas pohon itu berbeda.Dengan akal dan budi yang dimiliki manusia, dan dengan pengalaman hidup yang dipunyai, manusia mampu mempersepsikan suatu kondisi, dan persepsi ini sangat individualistis sifatnya, yaitu berbeda untuk setiap manusia, tergantung dari pengalaman hidup yang dijalani dan ekspektasi yang diinginkan. Ketika seseorang menempati suatu lingkungan permukiman yang memiliki jalan beraspal atau di paving, akan merasa bangga dan senang apabila sebelumnya tidak pernah bertempat tinggal pada suatu lokasi yang demikian, tetapi sebaliknya akan merupakan hal biasa bagi yang lainnya, bahkan mungkin yang dipentingkan bukan jenis materialnya, tetapi lebih ke lebar jalan dan penghijauannya, demikian pula dalam hal mempersepsikan kondisi lingkungan yang selalu tergenang banjir, masing-masing individu akan berbeda dalam pemaknaan sesuai dengan pengalaman yang dimiliki sebelumnya.
Komentar