NASIB LINGKUNGAN DI TAHUN 2009

SUARA MERDEKA, 06 Januari 2009
Nasib Lingkungan di Tahun 2009
oleh Sudharto P Hadi

MEMBICARAKAN nasib lingkungan di tahun 2009, kita tidak bisa melepaskannya dari nasib lingkungan di tahun sebelumnya. Maka pikiran pun melayang ke peristiwa awal tahun 2008, di mana terjadi longsor di Tawangmangu dan Wonogiri, disusul banjir di 18 kabupaten/ kota dari 35 daerah di Jawa Tengah.Perkiraan kerugian banjir di Kota Solo mencapai Rp 22 miliar, Sukoharjo Rp 3,2 miliar, serta Sragen Rp 192 miliar. Di Kudus, dalam satu bulan dilanda dua kali banjir, antara Januari dan Februari 2008. Wilayah yang tergenang berada di daerah aliran sungai (DAS), seperti Bengawan Solo dan Jratunseluna. Sementara daerah-daerah pantura, mulai dari Brebes, Tegal, Pemalang, Batang, Pekalongan, Kendal, Demak, dan Jepara dilanda abrasi. Data yang dikutip Suara Merdeka (22 Desember 2008) menyebutkan, luas pantai yang rusak karena abrasi mencapai 5.582.37 hektare (ha). Kota Semarang tak hanya digempur abrasi, tetapi juga direndam rob (banjir pasang). Makin parahnya rob membuat Pemerintah Kota sampai menyatakan angkat tangan menghadapinya. Kerugian karena banjir bukan hanya memorakporandakan infrastruktur yang mengganggu roda perekonomian, melainkan juga membuat penduduk makin terjepit dalam kubang kemiskinan. Kemerosotan daya dukung lingkungan memicu terjadinya bencana yang berujung pada kesengsaraan manusia.Pada Februari 2008, pemerintah memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) No 2/ Tahun 2008 tentang Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan. Izin pembukaan hutan untuk pertambangan, pembangunan infrastruktur telekomunikasi, energi, dan jalan tol dengan tarif sewa sangat murah, yakni Rp 1,2 juta/ha/tahun, atau Rp 120 - Rp 300 per meter. Kebijakan ini menuai kritik berbagai pihak, mengingat Indonesia baru saja menjadi tuan rumah Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim. Presiden SBY merespon, PP ini hanya diberlakukan kepada 13 perusahaan penambangan yang diberi kompensasi lewat Perpu No 1/Tahun 2004 sebagai revisi UU No 41/1999 yang melarang kegiatan pertambangan di hutan lindung. Namun dalam PP No 2/ Tahun 2008 tidak disebut secara eksplisit bahwa ketentuan itu hanya untuk 13 perusahaan penambangan. Menurut Direktur Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), peluang terjadinya penambangan di hutan lindung akan terjadi.

Proyek Kontroversi.
Pertengahan sampai menjelang tutup tahun lalu, beberapa proyek besar yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan menghiasi Jawa Tengah. Diantaranya jalan tol trans Jawa, Semen Gresik, Kawasan Industri Alas Kethu, dan PLTN Jepara. Mari kita analisis selintas berbagai proyek besar tersebut. Sebagaimana diberitakan media massa, rencana pembangunan jalan tol trans Jawa sepanjang 652 km dari Cikampek (Jawa Barat) sampai Surabaya (Jawa Timur) akan memakan 4.264 ha sawah. Implikasi konversi lahan ini sangat luas. Pertama, terancamnya keamanan pangan. Pulau Jawa yang luasnya cuma 6,5 persen dari luas negeri kita, memasok 53 persen kebutuhan pangan nasional. Peran sebagai pemasok pangan ini sulit tergantikan, mengingat kesuburan lahan di Jawa 10 kali lipat dari lahan di luar Jawa. Kedua, terbukanya kawasan oleh jalan tol memicu konversi lahan lebih luas, karena pasti akan diikuti oleh pembangunan perumahan, permukiman, pertokoan, jasa, dan pusat perbelanjaan. Fenomena ini menyebabkan makin berkurangnya daerah resapan, sehingga menimbulkan risiko banjir. Padahal luas lahan sawah yang dibebaskan belum termasuk lahan perkebunan dan hutan. Jika kedua lahan itu dihitung, implikasi lingkungannya akan sangat besar. Rencana pendirian pabrik semen di wilayah Sukolilo, Kabupaten Pati, memicu timbulnya konflik. Bukan hanya antara kelompok masyarakat dan pemrakarsa proyek serta pemerintah, melainkan juga antarakelompok masyarakat itu sendiri. Setidaknya ada tiga sumber konflik. Pertama, kekhawatiran masyarakat terhadap dampak lingkungan yang mengancam perikehidupan mereka. Kedua, kecenderungan keberpihakan pemerintah kepada investor yang lebih banyak didasari alasan ekonomi. Ketiga, terjadi alih pemilikan lahan sebelum proyek dimulai. Hal ini memicu intensitas konflik horisontal antarmasyarakat. Studi lingkungan telah selesai dilakukan dan sekarang ini tinggal menunggu ketok palu keputusan yang ditunggu dengan harap-harap cemas oleh banyak pihak. Rencana alih fungsi hutan Kethu di Wonogiri untuk kawasan industri China menjadi berita besar. Pemkab Wonogiri menginginkan proyek ini berpijak pada alasan kemanfaatan ekonomi. Bahkan Bupati mengancam akan mengundurkan diri kalau rencana itu sampai gagal. Kalangan yang menolak berargumen, Alas Kethu merupakan hutan konservasi dan hulu Bengawan Solo. Kalau beralih fungsi, akan mempercepat air larian dan sedimentasi yang menyebabkan terjadinya banjir di DAS Bengawan Solo. Kelayakan sebuah proyek memang sejak awal harus ditapis melalui kesesuaian ruang yang memandatkan keseimbangan ekonomi, ekologi, dan sosial. PLTN Jepara yang mulai digagas sejak awal 1980-an tetap menjadi proyek kontroversi. Pemerintah berargumen, makin terbatasnya ketersediaan energi fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara hanya bisa dijawab dengan pemanfaatan tenaga nuklir. Koalisi masyarakat yang menolak kehadiran PLTN bersikukuh, belum saatnya mengadopsi PLTN karena tingkat kedisiplinan yang rendah, sehingga kemungkinan terjadi kebocoran akan besar. Dalam pandangan masyarakat sekitar, penempatan PLTN Jepara sangat berisiko karena padatnya penduduk. Dalam blueprint energi mix sampai tahun 2025, pemerintah menempatkan tenaga nuklir sebagai energi baru terbarukan, yang diharapkan memberikan kontribusi sebesar 17 % dari seluruh kebutuhan energi nasional. Apakah nuklir termasuk energi baru terbarukan, masih menjadi perdebatan. Apalagi jika ketersediaan uranium kita terbatas, maka ketergantunganya bukan hanya pada sisi teknologi, melainkan juga pasokan uranium.

Menatap Ketidakpastian
Di penghujung tahun 2008, pemerintah mendapatkan kado manis dengan telah disahkannya UU Pertambangan dan Mineral (Minerba). Hal baru dari UU Minerba adalah pengelolaan pertambangan tidak lagi dengan kontrak atau perjanjian, tetapi dengan izin. Secara teoritis, klausul ini menempatkan pemerintah memiliki posisi tawar kuat dalam mengawasi / mengendalikan kegiatan pertambangan.Adalah suatu kenyataan bahwa kegiatan pertambangan selama ini sarat dengan persoalan lingkungan dan sosial. Namun UU Minerba tidak sertamerta menjadi sapu jagad. UU yang baru ini juga memberikan kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten / kota menerbitkan izin pertambangan. Jika orientasi pemkab/pemkot masih menempatkan pendapatan daerah sebagai prioritas, maka kerusakan lingkungan dan menipisnya sumber daya alam tinggal menunggu waktu saja. Dalam skala global, terpilihnya Barack Obama yang pernah bersekolah di Menteng membersitkan harapan akan perubahan kebijakan negara adikuasa itu menuju komitmen pengurangan emisi CO2, sebagaimana sikap Partai Demokrat yang selama ini lebih pro- lingkungan ketimbang Partai Republik. Namun, perubahan kebijakan itu nampaknya tidak dengan mudah dilakukan, mengingat terpaan krisis keuangan global, di mana hidup mati industri dipertaruhkan.Melihat pemetaan masalah di tahun 2008, maka nasib lingkungan di tahun 2009 agaknya masih diliputi akan ketidakpastian. Apalagi jika krisis keuangan global tidak kunjung reda, sementara dikotomi ekonomi dan lingkungan akan makin mendapatkan tempat.
tulisan: Sudharto P Hadi, dosen Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro.

Komentar

MAZZBUDDY MPWK mengatakan…
Menanggapi tulisan dosen saya pak Dharto, saya mungkin berpendapat lain. Memang benar ada efek domino setiap ada aktivitas (itu alami), seperti pembangunan yang akhirnya akan ada efek-efek yang lain dan telah dibahas negatifnya oleh pak Dharto. Tetapi kita harus menatap kedepan,, apakah negara kita akan kita biarkan hanya berjalan di tempat dengan tidak melakukan pembangunan sama sekali??? Nah pasti jawabannya tidak.. Untuk itu seharusnya kita mendukung proyek tersebut sambil mencari pemecahan efek terkecil yang di timbulkannya. Tidak hanya mengulas tanpa solusi.. kira-kira begitu..

Postingan populer dari blog ini

Gerakan Tanah (Longsoran)

SEMAR

TATA RUANG BERBASIS PADA KESESUAIAN LAHAN