Tulisan Apik dari Satjipto Rahardjo

Sisi Lain Mahkamah Konstitusi
Tulisan Satjipto Rahardjo, di harian KOMPAS, Senin - 5 Januari 2009

Sejak dibentuk, menyusul Amandemen Ketiga UUD 1945, berkali-kali Mahkamah Konstitusi membuat putusan-putusan dengan magnitudo ”menggelegar”. Terakhir tentang caleg. Artikel ini tidak akan membicarakan putusan-putusan tersebut, melainkan menyoroti beberapa sisi MK yang tidak/belum banyak dibicarakan selama ini.
UUD 1945 telah mengamanatkan pembuatan sebuah MK sebagai satu-satunya institut yang boleh melakukan pengujian terhadap UUD. Bukan main! Mengerikan! Luar biasa! Tentunya para hakim MK juga manusia-manusia yang berkualitas luar biasa. Mereka adalah sembilan orang di antara lebih dari 200 juta manusia Indonesia yang boleh, berhak, dan berwenang mengatakan apa yang dipikirkan dan dikehendaki oleh UUD.
Ludah kesembilan orang tersebut juga ”mengeluarkan api” (Jw: idu geni), oleh karena sekali mereka memutus, dua ratusan juta manusia Indonesia harus diam, patuh, manut. Tidak boleh ada protes, banding, tidak ada jalan untuk melawan. Di atas MK hanya ada langit. Apakah itu tidak mengerikan namanya? (MK sebagai instansi pemutus pertama dan terakhir itu sesungguhnya didasarkan pada pertimbangan pragmatis, bukan akademis).
Hakim MK adalah orang-orang yang paling mengerti kandungan moral dan kehendak UUD dan oleh karena itulah mereka diberi kepercayaan mutlak untuk melakukan pengujian terhadap UUD. Kengerian terhadap kepercayaan tersebut semakin besar, mengingat UUD itu bukan undang-undang biasa.

Bahasa moral
UUD memang bukan undang-undang biasa. Apabila ia hanya berkualitas undang-undang biasa, tentulah tidak mungkin menjadi dasar dan landasan ribuan perundang-undangan yang ada di negeri ini. Untuk mampu menjadi dasar dari sekalian perundang-undangan tersebut, UUD harus menggunakan bahasa yang lain daripada bahasa undang-undang biasa. Ia harus menggunakan bahasa asas (principles) yang tidak lain adalah bahasa moral. Maka, Ronald Dworkin pun mengatakan bahwa membaca UUD itu tidak sama dengan membaca peraturan biasa. Kita perlu membaca lebih bersungguh-sungguh (taking law seriously) dan membaca UUD sebagai pesan moral (the moral reading of the constitution).
UUD itu tidak hanya menjadi landasan tatanan hukum, melainkan juga kehidupan sosial, politik, ekonomi kultural, dan lain-lain. Kalau kita menyimak anggota-anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dari 20 anggota hanya ada empat ahli hukum, sedangkan dalam ”Panitia Sembilan” yang diserahi penyusunan draf terakhir, hanya ada tiga ahli hukum. Yang mengetuai pun bukan Mr Yamin, Mr Maramis, Mr Ahmad Soebardjo, atau Prof Dr Mr Soepomo. Kita perlu membaca dan memahami dengan bersungguh-sungguh makna susunan keanggotaan tersebut.
Kita dapat mengatakan bahwa para founding fathers paham benar arti dan teba (scope) sebuah UUD dan karena itu tidak dapat hanya diserahkan kepada para ahli hukum. Maka, di situ pun berkumpul sekitar 20 jamhur yang dimiliki Indonesia waktu itu, persis seperti berkumpulnya para jamhur Amerika di Philadelphia pada tahun 1787 dalam Constitutional Convention yang merancang Konstitusi Amerika Serikat. Di situ, antara lain, ada George Washington, Benjamin Franklin, dan James Madison.
UUD adalah urusan yang jauh lebih serius daripada hanya urusan hukum. UUD adalah landasan dan menyangkut kehidupan bangsa Indonesia. Konstitusi mengatur kehidupan bangsa, bukan pelanggaran lalu lintas, pencurian, kontrak, dan lain-lain menu undang-undang biasa. Maka, para hakim MK itu adalah orang-orang hebat karena hanya merekalah yang benar-benar memahami konstitusi kita. Mereka boleh diberi julukan generasi kedua founding fathers Indonesia.
Selang 60 tahun sejak 1945, dibentuklah MK dengan sembilan hakim, semuanya adalah ahli hukum. Menjadi tanda tanya bagi saya, mengapa harus demikian? Barangkali ada pendapat atau paham yang sangat kuat bahwa MK itu adalah identik belaka dengan mahkamah pengadilan.

Pengerdilan makna
Kalau dugaan saya benar, dari situlah persoalan dimulai sehingga semua hakim dan kandidat hakim MK harus dari kalangan ahli hukum. Di sini telah terjadi pengerdilan atau reduksi makna dari masalah bangsa dan kehidupan bangsa yang begitu besar turun hanya menjadi masalah hukum.
Apabila kita memahami bahwa MK itu mengurusi sekalian aspek kehidupan bangsa, kita tidak akan menyerahkan hakim MK hanya kepada panel ahli hukum. Masalah kehidupan bangsa yang begitu besar tentulah perlu dihadapi oleh sebuah panel yang sepadan pula. Ia bukan hanya urusan para ahli hukum, melainkan juga para sosiolog, antropolog, ilmuwan politik, ekonomi, sejarawan, budayawan, rohaniwan, dan lain-lain.
Mereka tentulah akan melihat suatu problem dari pandangan keadilan, seperti anthropological justice dan cultural justice, sehingga yang muncul tidak hanya legal and formal justice, tetapi benar-benar suatu substantial justice. Sejak UUD itu menyangkut keadilan kehidupan bangsa dan manusia Indonesia, putusan-putusan yang dibuat oleh panel ahli yang luas menjadi lebih cocok dengan teba UUD daripada (maaf) yang dibuat oleh panel ahli hukum saja. Ini bukan soal ”logika hukum”, melainkan ”logika kehidupan bangsa” yang begitu luas. Tentu saja yang salah bukan para hakim MK, melainkan yang merancang bangunan MK itu.
Bernegara hukum, apalagi menghadapi konstitusi, memang membutuhkan kearifan yang lebih luas daripada sekadar berpikir dengan ”akal-hukum”. Barangkali artikel ini boleh menjadi tambahan bahan pemikiran tentang eksistensi MK kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gerakan Tanah (Longsoran)

PETRUK

SEMAR