UNTUK MAHASISWA MAGISTER ILMU LINGKUNGAN ANGK 22
Ada 4 tulisan, tolong dibuat reviewnya, masalah infrastruktur yang kurang terurus apa akibatnya terhadap mutu lingkungan hidup, misalnya - untuk suply barang ekspor sejauh 140 km, di Indonesia angkutan barang hanya mampu ulang alik 2x, sedangkan Malaysia dan Cina bisa 4x, dari sisi harga jelas menjadi lebih tinggi, dari sisi lingkungan (?) - (mungkin) pencemaran udara, sebab lambatnya kendaraan berkorelasi thd peningkatan polusi (polusi lho ya...bukan polisi, haha). Nah silahkan baca dng seksama, buat reviewnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Selamat berfikir, kumpulkan 20 Mei 2009 (pas hari Kebangkitan Nasional), terima kasih.
Hancur Pasca-Otonomi Daerah
Jumat, 24 April 2009 04:18 WIB
Rakyat di daerah yang berharap mendapat pelayanan lebih baik pascadesentralisasi ekonomi nyatanya hanya mendapat janji-janji. Hampir di seluruh belahan Nusantara, rakyat masih hidup dengan infrastruktur dasar yang minim. Otonomi daerah hanya memberi angin segar pada elite birokrasi lokal. Sementara, para birokrat di Jakarta seperti menutup mata.
erita tentang anak-anak usia sekolah dasar yang tak bisa belajar karena tak ada gedung sekolah dan tiadanya guru mudah ditemui di negeri ini. Misalnya di Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kalimantan Barat, yang berbatas dengan Sarawak, Malaysia.
Hanya ada enam SD dan satu SMP negeri di desa berpenduduk 2.379 jiwa ini. Bahkan, di Dusun Gun Tembawang yang letaknya paling jauh dari pusat desa dan berbatasan langsung dengan kampung Serawak tidak ada SD.
Potret sekolah di pedalaman itu hanya satu gambaran muram. Gambaran lainnya, yaitu minimnya sarana kesehatan. Hanya ada satu Pondok Bersalin Desa (Polindes) di Dusun Suruh Tembawang yang ditangani satu bidan, yang kadang tidak di tempat.
Untuk menjangkau pusat desa, warga Dusun Gun Tembawang (dusun terjauh dari pusat desa) harus berjalan kaki selama lebih dari enam jam naik turun bukit dan menyusuri Sungai Sekayam dengan perahu motor selama satu jam. Jangankan telekomunikasi, jaringan listrik negara tak menjangkaunya.
Di Poepe, Kecamatan Okaba, Merauke, juga hanya ada satu guru dan satu sekolah dasar dengan fasilitas pengajaran yang minim. Jangan tanya lagi bagaimana penyediaan infrastruktur lain, seperti fasilitas kesehatan, jalan, dan listrik. Warga desa ini harus naik sepeda motor 11 jam menembus hutan dan menyeberang dua sungai yang belum ada jembatannya untuk mendapat pengobatan yang layak di ibu kota kabupaten, Merauke. Tak ada aliran listrik dari PT PLN.
Untuk aliran listrik, kondisi di daerah memang sangat menyedihkan. Jangankan menjangkau desa-desa, di pusat-pusat kota di Kalimantan juga kekurangan pasokan listrik, misalnya di ibu kota Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Data PLN Cabang Palangkaraya, kebutuhan daya listrik di Palangkaraya mencapai 26,4 Megawatt (MW). Saat beban puncak, yakni dari pukul 17.00 hingga 22.00, terjadi defisit daya sekitar 2 MW.
Mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga Direktur Islamic Development Bank Bambang Brodjonegoro mengatakan, hasil survei Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah untuk iklim investasi 2007 menunjukkan bahwa keluhan utama pelaku bisnis di daerah terhadap pemda dalam konteks economic governance adalah manajemen infrastruktur yang lemah.
Hal ini tergambar dari kecilnya alokasi APBD untuk infrastruktur dan lambannya reaksi pemda membetulkan infrastruktur yang rusak, rendahnya kualitas infrastruktur yang ada, serta hampir tidak adanya tambahan infrastruktur baru. Sebagian memang salah pusat juga, terutama dalam masalah listrik.
”Ada daerah yang sudah melakukan perbaikan dua minggu setelah ada keluhan, tetapi ada juga yang sampai satu tahun,” kata dia,
Menciut
Ketua Program Studi Manajemen Infrastruktur Universitas Indonesia Suyono Dikun mengatakan, salah satu tujuan desentralisasi adalah mendekatkanpelayanan publik ke masyarakat, termasuk dalam penyediaan infrastruktur dasar. Tetapi, ini tak terjadi. Yang terjadi justru sebaliknya, kualitas pelayanan infrastruktur mundur dramatis. Indikator yang paling kasat-mata dari buruknya infrastruk- tur adalah kondisi prasarana jalan.
Dirjen Binamarga Departemen Pekerjaan Umum Hermanto Dardak mengakui, pascaotonomi daerah (otda), kuantitas dan kualitas jalan provinsi dan kabupaten/kota cenderung menurun. ”Banyak jalan daerah, khususnya jalan kabupaten, yang rusak,” kata dia.
Dari catatan Departemen Kimpraswil, panjang jalan nasional memang meningkat 7,15 persen per tahun pada kurun 2000-2004 dari 26,271 km menjadi 34,628 km, namun panjang jalan provinsi justru menciut 3,62 persen.
Menurut Hermanto, penciutan ini karena beberapa daerah mengabaikan pembangunan infrastruktur jalan. Sebelum otda, dana pembangunan jalan di daerah diatur oleh pemerintah pusat melalui Inpres Jalan Provinsi atau Inpres Jalan Kabupaten.
Sekarang, alokasi itu diserahkan kepada setiap daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Kedua alokasi dana itu langsung diserahkan Depkeu ke daerah. ”Ada beberapa daerah yang tidak perhatian dengan pembangunan jalan dan mengalokasikan untuk pembangunan lainnya yang tidak menyentuh langsung hajat masyarakat,” kata dia.
Melihat dinamika itu, mulai dua tahun terakhir, Departemen PU diminta memberi asistensi oleh Departemen Keuangan dalam pengalokasian anggaran jalan dalam DAK. ”Kami berharap proses asistensi ini lebih intensif lagi,” kata dia.
Hermanto mengatakan, sesuai Undang-Undang (UU) Jalan tahun 2004, pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan dalam pengaturan, pembinaan, dan pengawasan. Sedangkan pelaksana pembangunan jalan diserahkan ke daerah masing-masing, baik provinsi maupun kabupaten/kota. ”Pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan penuh untuk membangun dan merawat jalan nasional, yaitu jalan-jalan arteri primer yang menghubungkan antarprovinsi. Pusat hanya bisa menegur jika ada jalan di daerah yang tidak memenuhi standar minimum pelayanan,” kata Hermanto.
Namun, teguran itu sering diabaikan. Karena itu, terkadang pemerintah pusat turun tangan dengan ”membantu” pembangunan jalan dengan dana APBD maupun APBN. Jalan yang dibantu pembangunannya ini biasanya jalan yang dinilai strategis yang berdampak nasional. Misalnya, jalan di lintas selatan Jawa dan jalan di perbatasan Kalimantan.
”Di poros selatan Jawa dan perbatasan Kalimantan ada beberapa jalan provinsi atau kabupaten, dan jalan nonstatus, yang dibantu pembangunannya oleh pemerintah pusat,” kata Hermanto.
Namun, menurut Suyono Dikun, UU Jalan 2004 itu seharusnya tak menjadi alasan pemerintah pusat menutup mata terhadap kehancuran jalan daerah. ”UU Jalan memang mengatur pembagian tanggung jawab yang jelas dalam manajemen jalan pasca-otonomi daerah. Manajemen jalan nasional menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen PU dan Bina Marga,” kata dia.
Sedangkan jalan provinsi oleh pemerintah provinsi dan jalan kabupaten/kota oleh pemerintah kabupaten/kota. Tetapi, tanggung jawab pembinaan jaringan jalan tetap ada di tangan pemerintah pusat. ”Undang-undang Jalan menyebutkan tanggung jawab pembinaan seluruh jaringan jalan di Nusantara ada di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian, pemerintah pusat tidak bisa lepas tangan terhadap kondisi jalan daerah,” ujarnya. (AIK/TAT)
Harga Buruknya Infrastruktur
Jumat, 24 April 2009 04:20 WIB
Krisis finansial 1997/1998 sudah lama berlalu, tetapi sampai kini bangsa ini masih harus terus membayar mahal atas kelalaian pada masa lalu, yakni terabaikannya pembangunan dan pemeliharaan sektor infrastruktur. Keluhan soal buruknya infrastruktur terus menjadi momok yang menakutkan, kendati setiap tahun triliunan rupiah digelontorkan untuk sektor ini.
Kesulitan keuangan yang dihadapi pemerintah pada masa krisis dan setelahnya menempatkan sektor infrastruktur, yang sebelumnya merupakan prioritas, menjadi target pertama untuk dikorbankan dalam prioritas alokasi anggaran pembangunan.
Investasi infrastruktur anjlok dari rata-rata 5-6 persen dari produk domestik bruto (PDB) sebelum 1997 menjadi hanya 1-2 persen pada 2000. Kendati alokasi anggaran untuk infrastruktur cenderung meningkat beberapa tahun terakhir (3,4 persen dari PDB pada 2004 dan 3,6 persen PDB pada 2005 serta 2,2 persen PDB tahun 2009), angka ini masih jauh dari memadai untuk mengatasi ketertinggalan (backlog) yang ada.
Angka itu juga jauh di bawah level minimum yang dianggap ideal untuk negara berkembang, yakni 5-6 persen dari PDB. Negara seperti China dan Vietnam mampu menyisihkan sekitar 10 persen dari PDB, Bahkan, Laos dan Mongolia 4 dan 7 persen.
Data Bank Dunia pada 1994, dari anggaran belanja pembangunan di APBN sebesar 14 miliar dollar AS, 57 persen tertuju ke infrastruktur. Pada 2002, anggaran belanja pembangunan menciut hingga di bawah 5 miliar dollar AS, dari jumlah ini hanya 30 persen mengalir ke infrastruktur. Pada saat yang sama, investasi swasta anjlok 90 persen dari 1996 ke 2000.
Penyunatan anggaran ini terutama memukul sektor ketenagalistrikan dan penyediaan air bersih. Krisis listrik berkepanjangan pun menjadi langganan Pulau Jawa-Bali. Kelangkaan listrik akut juga melanda wilayah-wilayah lain di Indonesia. Sekitar 45 persen rumah tangga (lebih dari 100 juta penduduk) tak punya akses ke listrik. Sebagai perbandingan, di Vietnam hanya 10-15 persen.
Kondisi sebagian besar prasarana jalan juga hancur. Panjang jalan nasional nyaris tak tumbuh dan beban jalan terus bertambah. Sejak krisis 1997, jalan yang diaspal hanya meningkat dari 47 persen ke 58 persen. Di China dan Thailand angkanya sudah 93 persen. Di Jawa, sekitar separuh jaringan jalan mengalami kemacetan parah.
Pertumbuhan jaringan jalan (rata-rata 12 persen) kalah cepat dibandingkan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor per 1.000 penduduk yang mencapai 80 persen bahkan lebih. Infrastruktur kereta api juga jauh tertinggal.
Teledensitas juga terendah di ASEAN dengan akses telepon hanya 27 per 1.000 orang untuk fixed line, untuk seluler 8 per 1.000 penduduk. Kualitas pelayanan pelabuhan di Indonesia adalah kedua yang terburuk dari 16 pelabuhan di Asia, menurut kajian peneliti dari National Taiwan Ocean University Keelung dan Chang Jung Christian University Taiwan.
Akibat buruknya sanitasi, Indonesia dipastikan juga tak akan mencapai Sasaran Pembangunan Milenium (MDG). Infrastruktur pedesaan, termasuk irigasi dan jalan pedesaan, juga merana. Bank Dunia menyebut korelasi kuat antara ketersediaan infrastruktur—khususnya telekomunikasi, listrik, jalan beraspal dan akses terhadap air bersih—dengan PDB per kapita
Buruknya infrastruktur ini membuat infrastruktur yang seharusnya menjadi lokomotif pertumbuhan, kini menjadi penyumbang utama ekonomi biaya tinggi dan kendala dalam pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan.
Global Competitiveness Report 2008-2009 menempatkan buruknya infrastruktur sebagai faktor kedua terpenting setelah inefisiensi birokrasi sebagai penghambat utama berbisnis di Indonesia.
Dari 134 negara, Indonesia di urutan 96 untuk infrastruktur secara keseluruhan, ke-105 untuk kualitas jalan, ke-58 untuk kualitas infrastruktur jalan KA, ke-104 untuk kualitas infrastruktur pelabuhan, ke-75 untuk kualitas infrastruktur transportasi udara, ke-92 untuk kualitas pasokan listrik dan 100 untuk sambungan telepon.
Paradigma kerja birokrasi
Ketua Program Studi Manajemen Infrastruktur Universitas Indonesia Suyono Dikun melihat belum berubahnya paradigma birokrasi dalam kebijakan pembangunan infrastruktur. Selama ini, pemerintah (dalam hal ini Departemen PU dan Bina Marga) cenderung melihat program pembangunan infrastruktur sekadar sebagai proyek rutin setiap tahun.
”Yang mereka pikirkan hanya, tahun depan APBN ada lagi, syukur-syukur ditambah, apalagi sekarang malah dapat stimulus. Setiap tahunnya dapat anggaran, mereka kerja lagi, diperbaiki lagi. Tahun depan rusak lagi, dapat anggaran lagi, diperbaiki lagi. Puluhan tahun cara kerja dan berpikir mereka begitu. Jadi, enggak ada kemajuan apa-apa. Tak ada langkah-langkah birokrasi yang sangat inovatif, reformis dan out of box thinking,” ujarnya.
Buruknya infrastruktur memunculkan frustrasi di kalangan pelaku usaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi mengatakan, para pelaku usaha harus menanggung beban ekonomi biaya tinggi (high cost) akibat buruknya infrastruktur, termasuk infrastruktur jalan serta prasarana angkutan yang membuat tingginya biaya aktivitas distribusi dan ekspor impor.
Akibat krisis listrik, pelaku usaha juga harus membayar tarif yang empat kali lebih mahal daripada tarif dasar listrik (TDL)-nya untuk penggunaan listrik pada masa beban puncak. Akibat listrik terus byarpet, pada Juli 2008 Dubes Jepang di Jakarta mewakili sekitar 400 perusahaan Jepang yang memiliki investasi di Indonesia dan tergabung dalam Jakarta Japan Club mengirimkan surat keluhan kepada Pemerintah RI dan mengancam akan hengkang dari Indonesia
”Buruknya kualitas pelayanan air bersih membuat kita juga harus menyediakan air kemasan untuk karyawan, sementara kalau mau bikin sumur bawah tanah, dikenai bermacam-macam aturan,” ujarnya.
Ia melihat lemahnya komitmen pemerintah. ”Empat tahun lalu ada Infrastructure Summit yang begitu gegap gempita, tetapi hasilnya nol karena tidak ada kemampuan di pihak kita sendiri. Kesulitan kita adalah regulasi sangat tidak mendukung. Birokrasi kita juga lambat. Kebijakan di pusat dan di daerah tidak jelas. Policy-nya semua ceritanya baik-baik, tetapi dalam implementasinya susah,” ujarnya.
Ia menunjuk urusan pembebasan tanah saja tidak pernah beres. ”Begitu banyaknya ruas jalan tol yang sudah dikasih ke pengusaha-pengusaha yang sebenarnya hanya rent-seekers, enggak ada duitnya. Mereka itu hanya jual lisensi saja. Proyeknya enggak jalan, tetapi sejak zaman Soeharto sampai sekarang tidak juga dicabut izinnya. Kalau ada orang lain yang punya kemampuan mau ngerjain enggak bisa. Bagaimana kita bisa percaya bahwa pemerintah ini serius? Kalau saya, saya seret mereka itu semua ke pengadilan dan izinnya ditarik kembali, ditenderkan lagi,” ujarnya.
Melihat situasi ini, ia tak yakin 5-10 tahun ke depan kondisi sudah berubah. ”Di Jakarta, kanal banjir itu sudah puluhan tahun. Rencana subway sudah ada sejak sepuluh tahun lalu. Monorel tiangnya sudah setengah jalan, tak ada kabarnya lagi. Jadi, bagaimana kita percaya bahwa kita bisa mewujudkan itu? Kita enggak punya suatu kepemimpinan yang bisa menerobos itu semua, seperti di Malaysia atau di negara lain,” ujarnya.
”Enggak usah jauh-jauh bicara public private partnership. Proyek-proyek pemerintah yang sudah disetujui oleh APBN sendiri tak jalan sampai sekarang. Sampai bulan keempat ini, belum ada satu pun yang terlihat. Hambatan kita sebenarnya ada di implementasi dan tak tegasnya pemerintah sendiri,” tambah Sofyan.
Suyono Dikun sependapat, persoalan pembebasan tanah sebetulnya bukan menyangkut dana karena uangnya ada, tetapi karena pemerintah tak mampu mengatasi banyaknya spekulasi dan mafia tanah di lapangan.
Siswono Yudo Husodo, pengusaha yang sudah membangun jalan tol di Cikampek dan Kebon Jeruk; infrastruktur air minum di Batam, Palembang; ratusan kilometer jalan di Sumatera, Kalimantan, Jawa; serta pelabuhan peti kemas di Jakarta, Batam, Pulau Bay, sependapat, di bidang infrastruktur Indonesia sangat tertinggal dibandingkan negara lain.
Kalau panjang jalan bisa dipakai sebagai ukuran, untuk setiap 100.000 penduduk kita hanya memiliki 76 km jalan, sementara Malaysia 200 km. Negara seperti Jepang bahkan hampir 100.000 km.
Dari kecepatan membangun jalan tol, Indonesia yang sudah membangun jalan tol pertama kali tahun 1978, yakni ruas Tol Jagorawi, sampai sekarang baru memiliki jalan tol sepanjang 600 km. Adapun Malaysia dan China, yang baru mulai tahun 1988 dan 1990, serta belajar dari Indonesia mengenai konstruksi dan sistem pentarifannya, kini sudah memiliki 6.000 km dan 90.000 km.
Untuk pelayanan transportasi, banyaknya jalan yang rusak mengakibatkan biaya transportasi menjadi sangat mahal. Ia mencontohkan pengalamannya menggeluti usaha ternak sapi di Pulau Sumbawa. Untuk mengangkut satu ekor sapi dari Bima ke Jakarta, biayanya bisa 180 persen lebih besar dibandingkan mengangkut satu sapi dari Darwin (Australia) ke Jakarta.
”Pabrik-pabrik di Bandung kalau mau ekspor dari Jakarta hanya bisa dua kali pergi pulang untuk jarak 180 km, sementara di China bisa 3-4 kali untuk jarak yang sama. Jadi, bagaimana kita mau bicara daya saing,” ujarnya.
Tertinggalnya infrastruktur menyebabkan rendahnya pula potensi pengembangan ekonomi wilayah karena pertumbuhan ekonomi mengikuti panjang jalan. Itu juga terbukti dari pertumbuhan ekonomi wilayah Jabar dan Jatim bagian selatan yang relatif tertinggal dibandingkan wilayah pantura karena infrastruktur yang relatif tertinggal.
Hal ini menjadi pesan bagi siapa pun pemimpin yang nanti terpilih pada Pemilu 2009, untuk memprioritaskan pada pembangunan infrastruktur jalan, pelabuhan udara, pelabuhan laut, dan lainnya, karena itu sangat penting untuk menumbuhkan ekonomi, mengatasi kesenjangan dan memerangi kemiskinan. (TAT)
Kesalahan Manajemen
Jumat, 24 April 2009 04:19 WIB
Pengajar Magister Perencanaan Kota dan Daerah (MPKD) yang juga Ketua Jurusan Perencanaan Kota Universitas Gadjah Mada (UGM) Sudaryono mengatakan, manajemen pembangunan infrastruktur di daerah pascaotonomi daerah (otda) justru memburuk sehingga banyak pembangunan yang sia-sia.
”Banyak infrastruktur yang dibangun hanya sebagai 'penanda' prestasi partai dan birokrat yang berkuasa. Yang penting untuk rakyat diabaikan, tapi yang tak berguna justru dibangun,” katanya.
Tak jauh berbeda dengan sebelum pelaksanaan otda, penyediaan infrastruktur hingga saat ini, menurut Sudaryono, lebih pada ”pengaturan” daripada ”pelayanan”. Lebih pada ”keinginan” daripada ”pemenuhan kebutuhan” masyarakat. Dan tentu saja lebih menjadi ”sumber PAD (pendapatan asli daerah)” daripada untuk ”kenyamanan”.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa MPKD UGM, menurut Sudaryono, menunjukkan banyaknya kesia-siaan pembangunan infrastruktur di daerah tersebut. Contohnya, pembangunan Terminal Air Sebakul Kota Bengkulu (Hengki Suprianto, 2004). Terminal ini akhirnya tidak terpakai optimal karena jarak dari kota terlalu jauh sehingga ongkos pencapaian ke terminal lebih mahal daripada ongkos ke simpul halte terdekat. Manajemen terminal juga lemah.
Contoh lainnya adalah pembangunan terminal baru Kota Dumai. Penelitian Fahmi Abdullah Abidin (2007) menemukan bahwa terminal tidak berfungsi efektif karena tidak sesuai kebutuhan masyarakat, kesalahan pemilihan lokasi (bias kota besar, padahal ukuran kota masih tergolong kota sedang/kecil), tidak adanya kajian yang mendalam, tidak terintegrasi dengan trayek angkutan kota, tarif angkot ke lokasi mahal, dan tidak banyak bis dan angkot yang masuk dan keluar.
Menurut Sudaryono, proyek-proyek ini banyak yang sia-sia karena memang tidak direncanakan dengan baik. Tujuan pembangunan proyek biasanya lebih untuk mengejar anggaran dibandingkan untuk memberi pelayanan kepada masyarakat. Proyek-proyek infrastruktur pun menjadi ladang subur korupsi pejabat di daerah dan juga politisi nasional.
Habis untuk belanja rutin
Direktur Islamic Development Bank Bambang Brodjonegoro mengatakan, problem utama buruknya infrastruktur di daerah karena sebagian besar APBD, terutama kabupaten/kota, habis untuk kebutuhan rutin seperti belanja pegawai dan belanja barang. Akibatnya, anggaran untuk perawatan maupun pembangunan infrastruktur menjadi terbatas.
”Masih sedikit pemkab/pemkot yang serius melakukan efisiensi belanja rutin agar masih ada dana cukup untuk pelayanan publik seperti infrastruktur,” kata dia. Bambang menambahkan, belum adanya ketentuan yang ketat tentang standar pelayanan minimum nasional untuk infrastruktur makin memperburuk komitmen pemda memperbaiki infrastruktur.
Sedangkan daerah yang kaya seperti Kalimantan Timur dan Timika, Papua, justru berlomba membangun infrastruktur perkantoran megah dan proyek mercu suar seperti pembangunan bandara hingga pembelian pesawat, tetapi abai terhadap infrastruktur dasar lainnya. Beberapa infrastruktur mercu suar tersebut akhirnya sia-sia dan tidak berkelanjutan, seperti pesawat pilatus yang dibeli Pemda Mimika yang mangkrak.
”Belum adanya enforcement terhadap standar pelayanan nasional untuk infrastruktur, daerah-daerah yang berlebih APBD-nya tersebut. Mereka juga tidak punya perencanaan daerah yang kuat dan jelas prioritasnya,” kata dia.
Akibatnya, dana tersebut dihamburkan untuk keperluan yang tidak terlalu mendesak dan melupakan kebutuhan dasar masyarakat termasuk infrastruktur seperti jalan dan pengairan.
Faktor lainnya, menurut Bambang, adalah seretnya transfer uang dari pusat ke daerah.
”Dari segi keuangan daerah, daerah-daerah tersebut adalah daerah yang menerima bagi hasil sumber daya alam yang cukup besar tapi pencairan dana tersebut ke daerah dari pusat memang kurang mendukung tercapainya pembangunan yang terencana dalam satu tahun anggaran mengingat dana menumpuk di semester kedua,” kata dia.
Akibatnya, proyek tidak berjalan lancar dan akhirnya terjadi surplus yang besar dan butuh persetujuan DPRD lagi untuk menjadi suatu proyek atau aktivitas tahun fiskal berikutnya. Fenomena anggaran yang tersedot lebih banyak untuk anggaran rutin sebenarnya bukan hanya monopoli daerah.
Data Bappenas menunjukkan, pada 1999, berdasarkan catatan Bappenas, porsi anggaran untuk pembangunan masih 37,5 persen dari PDB, tahun 2003 tinggal 17,6 persen. Dari angka itu, porsi untuk sektor transportasi sekitar 12 persen-13 persen.
Tren ini masih berlanjut hingga sekarang. Data empat tahun terakhir yang diungkapkan Direktur Perencanaan Makro Bappenas Bambang Prijambodo menunjukkan, belanja modal atau anggaran pembangunan nyaris tak tumbuh dalam empat tahun terakhir. Kondisi sebaliknya terjadi pada belanja barang atau konsumsi.
Birokrat dan politisi, baik dari pusat kekuasaan di Jakarta dan daerah, memang sama-sama berutang pada rakyat di daerah yang hidup dalam kekurangan.(AIK/TAT)
Menjaga Kesinambungan Reformasi Infrastruktur
Jumat, 24 April 2009 04:22 WIB
Oleh Bambang Susantono
Pencanangan program pembangunan infrastruktur pada saat pertemuan puncak infrastruktur 2005 sebenarnya memiliki makna yang jauh lebih besar ketimbang hanya menawarkan berbagai jenis proyek kepada investor.
nti dari pertemuan tersebut adalah dimulainya reformasi pembangunan infrastruktur melalui serangkaian rencana tindak berupa revisi peraturan perundangan, peningkatan alokasi anggaran pemerintah, pemisahan fungsi regulator dan operator, dan memperbesar kesempatan bagi pemda dan swasta untuk membangun infrastruktur.
Reformasi perundang-undangan yang saat ini hampir tuntas memberikan fondasi bagi rencana tindak lainnya. Peraturan perundangan yang lama pada umumnya tidak memberikan kesempatan yang luas kepada pemerintah daerah dan swasta untuk ikut berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur.
Pascapertemuan puncak infrastruktur 2005 beberapa UU dan peraturan pelaksanaannya telah diselesaikan, antara lain tentang jalan (jalan tol), sumber daya air (air minum), perkeretaapian, pelayaran (pelabuhan), dan penerbangan (bandara).
Banyak pihak tercengang melihat kebutuhan yang demikian besar yang diumumkan pada pertemuan puncak tersebut. Proyeksi saat itu memperlihatkan sekitar Rp 1.305 triliun dibutuhkan pada periode 2005-2009 untuk membangun kembali infrastruktur Indonesia pascakrisis 1997/1998.
Dari jumlah tersebut kekuatan dana pemerintah diperkirakan hanya sekitar 17,2 persen atau sekitar Rp 225 triliun. Sisanya, sebesar 82,8 persen, harus dicarikan dari berbagai pendanaan dalam dan luar negeri, baik melalui pinjaman maupun partisipasi swasta dalam proyek infrastruktur.
Empat tahun setelah pertemuan puncak, struktur perekonomian kita yang semakin kokoh telah memberikan keleluasaan fiskal untuk mengalokasikan dana bagi pembangunan infrastruktur.
Apabila pada tahun 2005 pemerintah hanya mampu mengalokasikan dana Rp 31,7 triliun, tahun 2009 dapat dialokasikan Rp 61,7 triliun, peningkatan 100 persen dibandingkan dengan tahun 2005.
Anggaran ini dialokasikan bagi lima kementerian, yaitu Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Komunikasi dan Informatika, dan Kementerian Negara Perumahan Rakyat.
Jumlah ini belum termasuk anggaran yang langsung di transfer ke daerah berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dana otonomi khusus untuk infrastruktur yang dalam kurun waktu 2005-2009 telah dialokasikan sebesar Rp 55,6 triliun dan Rp 31,1 triliun.
Keseluruhan dana ini bila ditotal mencapai sekitar Rp 321,6 triliun, atau lebih besar daripada proyeksi pendanaan pemerintah dan donor pada pertemuan puncak 2005.
Jumlah ini belum termasuk anggaran BUMN infrastruktur utama, seperti PLN, PGN, Telkom, Angkasa Pura, Pelindo, dan Jasa Marga. Juga belum termasuk hitungan dana APBD provinsi dan kabupaten/kota untuk infrastruktur. Total anggaran infrastruktur diperkirakan 3-4 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Sebelum krisis ekonomi 1997, investasi Indonesia di bidang Infrastruktur mencapai sekitar 7 persen PDB. Investasi sebesar itu telah berhasil menjadi sokoguru pertumbuhan ekonomi nasional sehingga pada saat itu Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, sejajar dengan negara-negara lainnya di kawasan Asia, seperti Malaysia, Korea, dan India.
Setelah krisis 1997, investasi infrastruktur turun drastis ke angka hanya sekitar 1-2 persen dari PDB dan setelah itu berangsur meningkat pada kisaran 2-3 persen dari PDB. Agar infrastruktur dapat berperan maksimal dalam menunjang perekonomian, para ahli sering kali menggunakan angka 5-6 persen dari PDB sebagai rule of thumb alokasi untuk pembangunan infrastruktur.
Belum cukup
Meskipun terdapat peningkatan yang signifikan pada anggaran pemerintah dan BUMN untuk membangun infrastruktur dasar, jumlah dana yang ada belum cukup untuk mengatasi ketertinggalan infrastruktur pascakrisis 1997/1998.
Peningkatan anggaran di sisi publik belum diikuti oleh kinerja di sisi swasta melalui proyek-proyek kerja sama pemerintah dan swasta.
Evaluasi terhadap permasalahan yang ada menunjukkan adanya empat hal, yaitu (1) kurang matangnya persiapan proyek sehingga penawaran tidak dapat direspons dengan baik oleh pasar; (2) faktor pembebasan lahan yang berlarut-larut; (3) ketidakmampuan investor untuk menggalang pendanaan sehingga tidak tercapai financial closure; dan (4) risiko proyek yang dianggap masih terlalu tinggi untuk dipikul oleh swasta.
Kekurangmatangan persiapan proyek diharapkan dapat dihindari dengan fasilitas penyiapan proyek (project development facility/PDF). Fasilitas ini dapat digunakan oleh instansi pemrakarsa proyek kerja sama pemerintah-swasta (public private partnership/PPP) agar proyek yang akan ditawarkan lebih bankable.
Melalui fasilitas ini akan disiapkan sekitar 16 proyek nasional dan 40 proyek regional. Proyek-proyek PPP ini tercantum dalam PPP Book yang telah diluncurkan Bappenas pada Maret lalu. Penawaran proyek kepada investor akan sangat bergantung pada kondisi pasar.
Oleh karena itu, sebelum proses lelang dimulai, akan didahului dengan proses jajak pasar untuk mengetahui minat pasar terhadap proyek PPP yang ditawarkan.
Beberapa instrumen kebijakan telah disediakan untuk memperlancar masalah pembebasan lahan adalah land capping, land freezing, dan land acquistion fund. Untuk memberi kepastian pembiayaan tanah, pemerintah telah memberi batas atas (capping) bagi investor untuk menanggung biaya pembebasan lahan.
Apabila investor membayar lebih dari batas tersebut maka pemerintah akan menanggung sisanya. Ketentuan ini dilengkapi dengan penyediaan dana akuisisi lahan di mana investor dapat meminjam sejumlah dana untuk membebaskan lahan sehingga tidak terlalu terbebani atas cost of money proses pembebasan lahan.
Dengan skema ini tentunya investor dapat lebih mudah untuk menghitung biaya transaksi tanah di dalam rencana bisnis. Agar tidak terjadi spekulasi tanah, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional telah memberikan mekanisme pembekuan jual beli lahan (land freezing) di mana tanah tak dapat diperjualbelikan tanpa seizin kepala daerah.
Permasalahan pendanaan karena kesulitan ekuitas ataupun pinjaman akan dicoba diatasi melalui pembentukan infrastructure fund (IF) yang akan berfungsi sebagai sumber ekuitas dan katalisator bagi pembiayaan proyek-proyek PPP.
Keberadaan IF diharapkan dapat menjembatani financial mismatch antara kebutuhan investasi jangka panjang infrastruktur dengan ketersediaan dana jangka pendek di pasar uang. Untuk kepentingan ini, pemerintah telah membentuk PT Sarana Multi Infrastruktur yang nantinya akan membentuk anak perusahaan (joint ventures) yang secara operasional akan membiayai proyek.
Saat ini sedang dipersiapkan pembentukan Indonesia Infrastructure Fund Facilities (IIFF) bersama dengan sejumlah lembaga multilateral/bilateral seperti ADB (140 juta dollar AS), Bank Dunia (proses negosiasi, 140 juta dollar AS), dan DEG-KFW Jerman (indikasi tentatif 20 juta dollar AS).
Pemerintah sendiri telah memberikan modal awal sebesar Rp 1 triliun kepada PT SMI, di mana Rp 600 miliar direncanakan akan menjadi ekuitas IIFF, sedangkan sisanya Rp 400 miliar akan dikelola oleh PT SMI.
Permasalahan persepsi risiko yang masih tinggi dicoba diatasi melalui institusi penjaminan Guarantee Fund (GF) yang ditargetkan terbentuk Juni 2009. GF diharapkan dapat menurunkan profil risiko dari sebuah proyek infrastruktur yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya transaksi keuangannya.
Lembaga ini direncanakan memiliki fasilitas penunjang (backstop facility) dari lembaga pendanaan multilateral seperti Bank Dunia atau ADB berupa dana yang sewaktu-waktu dapat digunakan bila diperlukan.
Jenis risiko yang akan dijamin utamanya adalah risiko politik yang erat kaitannya dengan kewenangan pemerintah. Pemerintah telah mengalokasikan Rp 1 triliun sebagai modal awal GF yang akan dikelola secara profesional berdasarkan prinsip komersial.
Bambang Susantono Deputi Menteri Koordinasi Perekonomian Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah
Hancur Pasca-Otonomi Daerah
Jumat, 24 April 2009 04:18 WIB
Rakyat di daerah yang berharap mendapat pelayanan lebih baik pascadesentralisasi ekonomi nyatanya hanya mendapat janji-janji. Hampir di seluruh belahan Nusantara, rakyat masih hidup dengan infrastruktur dasar yang minim. Otonomi daerah hanya memberi angin segar pada elite birokrasi lokal. Sementara, para birokrat di Jakarta seperti menutup mata.
erita tentang anak-anak usia sekolah dasar yang tak bisa belajar karena tak ada gedung sekolah dan tiadanya guru mudah ditemui di negeri ini. Misalnya di Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kalimantan Barat, yang berbatas dengan Sarawak, Malaysia.
Hanya ada enam SD dan satu SMP negeri di desa berpenduduk 2.379 jiwa ini. Bahkan, di Dusun Gun Tembawang yang letaknya paling jauh dari pusat desa dan berbatasan langsung dengan kampung Serawak tidak ada SD.
Potret sekolah di pedalaman itu hanya satu gambaran muram. Gambaran lainnya, yaitu minimnya sarana kesehatan. Hanya ada satu Pondok Bersalin Desa (Polindes) di Dusun Suruh Tembawang yang ditangani satu bidan, yang kadang tidak di tempat.
Untuk menjangkau pusat desa, warga Dusun Gun Tembawang (dusun terjauh dari pusat desa) harus berjalan kaki selama lebih dari enam jam naik turun bukit dan menyusuri Sungai Sekayam dengan perahu motor selama satu jam. Jangankan telekomunikasi, jaringan listrik negara tak menjangkaunya.
Di Poepe, Kecamatan Okaba, Merauke, juga hanya ada satu guru dan satu sekolah dasar dengan fasilitas pengajaran yang minim. Jangan tanya lagi bagaimana penyediaan infrastruktur lain, seperti fasilitas kesehatan, jalan, dan listrik. Warga desa ini harus naik sepeda motor 11 jam menembus hutan dan menyeberang dua sungai yang belum ada jembatannya untuk mendapat pengobatan yang layak di ibu kota kabupaten, Merauke. Tak ada aliran listrik dari PT PLN.
Untuk aliran listrik, kondisi di daerah memang sangat menyedihkan. Jangankan menjangkau desa-desa, di pusat-pusat kota di Kalimantan juga kekurangan pasokan listrik, misalnya di ibu kota Kalimantan Tengah, Palangkaraya. Data PLN Cabang Palangkaraya, kebutuhan daya listrik di Palangkaraya mencapai 26,4 Megawatt (MW). Saat beban puncak, yakni dari pukul 17.00 hingga 22.00, terjadi defisit daya sekitar 2 MW.
Mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga Direktur Islamic Development Bank Bambang Brodjonegoro mengatakan, hasil survei Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah untuk iklim investasi 2007 menunjukkan bahwa keluhan utama pelaku bisnis di daerah terhadap pemda dalam konteks economic governance adalah manajemen infrastruktur yang lemah.
Hal ini tergambar dari kecilnya alokasi APBD untuk infrastruktur dan lambannya reaksi pemda membetulkan infrastruktur yang rusak, rendahnya kualitas infrastruktur yang ada, serta hampir tidak adanya tambahan infrastruktur baru. Sebagian memang salah pusat juga, terutama dalam masalah listrik.
”Ada daerah yang sudah melakukan perbaikan dua minggu setelah ada keluhan, tetapi ada juga yang sampai satu tahun,” kata dia,
Menciut
Ketua Program Studi Manajemen Infrastruktur Universitas Indonesia Suyono Dikun mengatakan, salah satu tujuan desentralisasi adalah mendekatkanpelayanan publik ke masyarakat, termasuk dalam penyediaan infrastruktur dasar. Tetapi, ini tak terjadi. Yang terjadi justru sebaliknya, kualitas pelayanan infrastruktur mundur dramatis. Indikator yang paling kasat-mata dari buruknya infrastruk- tur adalah kondisi prasarana jalan.
Dirjen Binamarga Departemen Pekerjaan Umum Hermanto Dardak mengakui, pascaotonomi daerah (otda), kuantitas dan kualitas jalan provinsi dan kabupaten/kota cenderung menurun. ”Banyak jalan daerah, khususnya jalan kabupaten, yang rusak,” kata dia.
Dari catatan Departemen Kimpraswil, panjang jalan nasional memang meningkat 7,15 persen per tahun pada kurun 2000-2004 dari 26,271 km menjadi 34,628 km, namun panjang jalan provinsi justru menciut 3,62 persen.
Menurut Hermanto, penciutan ini karena beberapa daerah mengabaikan pembangunan infrastruktur jalan. Sebelum otda, dana pembangunan jalan di daerah diatur oleh pemerintah pusat melalui Inpres Jalan Provinsi atau Inpres Jalan Kabupaten.
Sekarang, alokasi itu diserahkan kepada setiap daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Kedua alokasi dana itu langsung diserahkan Depkeu ke daerah. ”Ada beberapa daerah yang tidak perhatian dengan pembangunan jalan dan mengalokasikan untuk pembangunan lainnya yang tidak menyentuh langsung hajat masyarakat,” kata dia.
Melihat dinamika itu, mulai dua tahun terakhir, Departemen PU diminta memberi asistensi oleh Departemen Keuangan dalam pengalokasian anggaran jalan dalam DAK. ”Kami berharap proses asistensi ini lebih intensif lagi,” kata dia.
Hermanto mengatakan, sesuai Undang-Undang (UU) Jalan tahun 2004, pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan dalam pengaturan, pembinaan, dan pengawasan. Sedangkan pelaksana pembangunan jalan diserahkan ke daerah masing-masing, baik provinsi maupun kabupaten/kota. ”Pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan penuh untuk membangun dan merawat jalan nasional, yaitu jalan-jalan arteri primer yang menghubungkan antarprovinsi. Pusat hanya bisa menegur jika ada jalan di daerah yang tidak memenuhi standar minimum pelayanan,” kata Hermanto.
Namun, teguran itu sering diabaikan. Karena itu, terkadang pemerintah pusat turun tangan dengan ”membantu” pembangunan jalan dengan dana APBD maupun APBN. Jalan yang dibantu pembangunannya ini biasanya jalan yang dinilai strategis yang berdampak nasional. Misalnya, jalan di lintas selatan Jawa dan jalan di perbatasan Kalimantan.
”Di poros selatan Jawa dan perbatasan Kalimantan ada beberapa jalan provinsi atau kabupaten, dan jalan nonstatus, yang dibantu pembangunannya oleh pemerintah pusat,” kata Hermanto.
Namun, menurut Suyono Dikun, UU Jalan 2004 itu seharusnya tak menjadi alasan pemerintah pusat menutup mata terhadap kehancuran jalan daerah. ”UU Jalan memang mengatur pembagian tanggung jawab yang jelas dalam manajemen jalan pasca-otonomi daerah. Manajemen jalan nasional menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen PU dan Bina Marga,” kata dia.
Sedangkan jalan provinsi oleh pemerintah provinsi dan jalan kabupaten/kota oleh pemerintah kabupaten/kota. Tetapi, tanggung jawab pembinaan jaringan jalan tetap ada di tangan pemerintah pusat. ”Undang-undang Jalan menyebutkan tanggung jawab pembinaan seluruh jaringan jalan di Nusantara ada di tangan pemerintah pusat. Dengan demikian, pemerintah pusat tidak bisa lepas tangan terhadap kondisi jalan daerah,” ujarnya. (AIK/TAT)
Harga Buruknya Infrastruktur
Jumat, 24 April 2009 04:20 WIB
Krisis finansial 1997/1998 sudah lama berlalu, tetapi sampai kini bangsa ini masih harus terus membayar mahal atas kelalaian pada masa lalu, yakni terabaikannya pembangunan dan pemeliharaan sektor infrastruktur. Keluhan soal buruknya infrastruktur terus menjadi momok yang menakutkan, kendati setiap tahun triliunan rupiah digelontorkan untuk sektor ini.
Kesulitan keuangan yang dihadapi pemerintah pada masa krisis dan setelahnya menempatkan sektor infrastruktur, yang sebelumnya merupakan prioritas, menjadi target pertama untuk dikorbankan dalam prioritas alokasi anggaran pembangunan.
Investasi infrastruktur anjlok dari rata-rata 5-6 persen dari produk domestik bruto (PDB) sebelum 1997 menjadi hanya 1-2 persen pada 2000. Kendati alokasi anggaran untuk infrastruktur cenderung meningkat beberapa tahun terakhir (3,4 persen dari PDB pada 2004 dan 3,6 persen PDB pada 2005 serta 2,2 persen PDB tahun 2009), angka ini masih jauh dari memadai untuk mengatasi ketertinggalan (backlog) yang ada.
Angka itu juga jauh di bawah level minimum yang dianggap ideal untuk negara berkembang, yakni 5-6 persen dari PDB. Negara seperti China dan Vietnam mampu menyisihkan sekitar 10 persen dari PDB, Bahkan, Laos dan Mongolia 4 dan 7 persen.
Data Bank Dunia pada 1994, dari anggaran belanja pembangunan di APBN sebesar 14 miliar dollar AS, 57 persen tertuju ke infrastruktur. Pada 2002, anggaran belanja pembangunan menciut hingga di bawah 5 miliar dollar AS, dari jumlah ini hanya 30 persen mengalir ke infrastruktur. Pada saat yang sama, investasi swasta anjlok 90 persen dari 1996 ke 2000.
Penyunatan anggaran ini terutama memukul sektor ketenagalistrikan dan penyediaan air bersih. Krisis listrik berkepanjangan pun menjadi langganan Pulau Jawa-Bali. Kelangkaan listrik akut juga melanda wilayah-wilayah lain di Indonesia. Sekitar 45 persen rumah tangga (lebih dari 100 juta penduduk) tak punya akses ke listrik. Sebagai perbandingan, di Vietnam hanya 10-15 persen.
Kondisi sebagian besar prasarana jalan juga hancur. Panjang jalan nasional nyaris tak tumbuh dan beban jalan terus bertambah. Sejak krisis 1997, jalan yang diaspal hanya meningkat dari 47 persen ke 58 persen. Di China dan Thailand angkanya sudah 93 persen. Di Jawa, sekitar separuh jaringan jalan mengalami kemacetan parah.
Pertumbuhan jaringan jalan (rata-rata 12 persen) kalah cepat dibandingkan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor per 1.000 penduduk yang mencapai 80 persen bahkan lebih. Infrastruktur kereta api juga jauh tertinggal.
Teledensitas juga terendah di ASEAN dengan akses telepon hanya 27 per 1.000 orang untuk fixed line, untuk seluler 8 per 1.000 penduduk. Kualitas pelayanan pelabuhan di Indonesia adalah kedua yang terburuk dari 16 pelabuhan di Asia, menurut kajian peneliti dari National Taiwan Ocean University Keelung dan Chang Jung Christian University Taiwan.
Akibat buruknya sanitasi, Indonesia dipastikan juga tak akan mencapai Sasaran Pembangunan Milenium (MDG). Infrastruktur pedesaan, termasuk irigasi dan jalan pedesaan, juga merana. Bank Dunia menyebut korelasi kuat antara ketersediaan infrastruktur—khususnya telekomunikasi, listrik, jalan beraspal dan akses terhadap air bersih—dengan PDB per kapita
Buruknya infrastruktur ini membuat infrastruktur yang seharusnya menjadi lokomotif pertumbuhan, kini menjadi penyumbang utama ekonomi biaya tinggi dan kendala dalam pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan.
Global Competitiveness Report 2008-2009 menempatkan buruknya infrastruktur sebagai faktor kedua terpenting setelah inefisiensi birokrasi sebagai penghambat utama berbisnis di Indonesia.
Dari 134 negara, Indonesia di urutan 96 untuk infrastruktur secara keseluruhan, ke-105 untuk kualitas jalan, ke-58 untuk kualitas infrastruktur jalan KA, ke-104 untuk kualitas infrastruktur pelabuhan, ke-75 untuk kualitas infrastruktur transportasi udara, ke-92 untuk kualitas pasokan listrik dan 100 untuk sambungan telepon.
Paradigma kerja birokrasi
Ketua Program Studi Manajemen Infrastruktur Universitas Indonesia Suyono Dikun melihat belum berubahnya paradigma birokrasi dalam kebijakan pembangunan infrastruktur. Selama ini, pemerintah (dalam hal ini Departemen PU dan Bina Marga) cenderung melihat program pembangunan infrastruktur sekadar sebagai proyek rutin setiap tahun.
”Yang mereka pikirkan hanya, tahun depan APBN ada lagi, syukur-syukur ditambah, apalagi sekarang malah dapat stimulus. Setiap tahunnya dapat anggaran, mereka kerja lagi, diperbaiki lagi. Tahun depan rusak lagi, dapat anggaran lagi, diperbaiki lagi. Puluhan tahun cara kerja dan berpikir mereka begitu. Jadi, enggak ada kemajuan apa-apa. Tak ada langkah-langkah birokrasi yang sangat inovatif, reformis dan out of box thinking,” ujarnya.
Buruknya infrastruktur memunculkan frustrasi di kalangan pelaku usaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi mengatakan, para pelaku usaha harus menanggung beban ekonomi biaya tinggi (high cost) akibat buruknya infrastruktur, termasuk infrastruktur jalan serta prasarana angkutan yang membuat tingginya biaya aktivitas distribusi dan ekspor impor.
Akibat krisis listrik, pelaku usaha juga harus membayar tarif yang empat kali lebih mahal daripada tarif dasar listrik (TDL)-nya untuk penggunaan listrik pada masa beban puncak. Akibat listrik terus byarpet, pada Juli 2008 Dubes Jepang di Jakarta mewakili sekitar 400 perusahaan Jepang yang memiliki investasi di Indonesia dan tergabung dalam Jakarta Japan Club mengirimkan surat keluhan kepada Pemerintah RI dan mengancam akan hengkang dari Indonesia
”Buruknya kualitas pelayanan air bersih membuat kita juga harus menyediakan air kemasan untuk karyawan, sementara kalau mau bikin sumur bawah tanah, dikenai bermacam-macam aturan,” ujarnya.
Ia melihat lemahnya komitmen pemerintah. ”Empat tahun lalu ada Infrastructure Summit yang begitu gegap gempita, tetapi hasilnya nol karena tidak ada kemampuan di pihak kita sendiri. Kesulitan kita adalah regulasi sangat tidak mendukung. Birokrasi kita juga lambat. Kebijakan di pusat dan di daerah tidak jelas. Policy-nya semua ceritanya baik-baik, tetapi dalam implementasinya susah,” ujarnya.
Ia menunjuk urusan pembebasan tanah saja tidak pernah beres. ”Begitu banyaknya ruas jalan tol yang sudah dikasih ke pengusaha-pengusaha yang sebenarnya hanya rent-seekers, enggak ada duitnya. Mereka itu hanya jual lisensi saja. Proyeknya enggak jalan, tetapi sejak zaman Soeharto sampai sekarang tidak juga dicabut izinnya. Kalau ada orang lain yang punya kemampuan mau ngerjain enggak bisa. Bagaimana kita bisa percaya bahwa pemerintah ini serius? Kalau saya, saya seret mereka itu semua ke pengadilan dan izinnya ditarik kembali, ditenderkan lagi,” ujarnya.
Melihat situasi ini, ia tak yakin 5-10 tahun ke depan kondisi sudah berubah. ”Di Jakarta, kanal banjir itu sudah puluhan tahun. Rencana subway sudah ada sejak sepuluh tahun lalu. Monorel tiangnya sudah setengah jalan, tak ada kabarnya lagi. Jadi, bagaimana kita percaya bahwa kita bisa mewujudkan itu? Kita enggak punya suatu kepemimpinan yang bisa menerobos itu semua, seperti di Malaysia atau di negara lain,” ujarnya.
”Enggak usah jauh-jauh bicara public private partnership. Proyek-proyek pemerintah yang sudah disetujui oleh APBN sendiri tak jalan sampai sekarang. Sampai bulan keempat ini, belum ada satu pun yang terlihat. Hambatan kita sebenarnya ada di implementasi dan tak tegasnya pemerintah sendiri,” tambah Sofyan.
Suyono Dikun sependapat, persoalan pembebasan tanah sebetulnya bukan menyangkut dana karena uangnya ada, tetapi karena pemerintah tak mampu mengatasi banyaknya spekulasi dan mafia tanah di lapangan.
Siswono Yudo Husodo, pengusaha yang sudah membangun jalan tol di Cikampek dan Kebon Jeruk; infrastruktur air minum di Batam, Palembang; ratusan kilometer jalan di Sumatera, Kalimantan, Jawa; serta pelabuhan peti kemas di Jakarta, Batam, Pulau Bay, sependapat, di bidang infrastruktur Indonesia sangat tertinggal dibandingkan negara lain.
Kalau panjang jalan bisa dipakai sebagai ukuran, untuk setiap 100.000 penduduk kita hanya memiliki 76 km jalan, sementara Malaysia 200 km. Negara seperti Jepang bahkan hampir 100.000 km.
Dari kecepatan membangun jalan tol, Indonesia yang sudah membangun jalan tol pertama kali tahun 1978, yakni ruas Tol Jagorawi, sampai sekarang baru memiliki jalan tol sepanjang 600 km. Adapun Malaysia dan China, yang baru mulai tahun 1988 dan 1990, serta belajar dari Indonesia mengenai konstruksi dan sistem pentarifannya, kini sudah memiliki 6.000 km dan 90.000 km.
Untuk pelayanan transportasi, banyaknya jalan yang rusak mengakibatkan biaya transportasi menjadi sangat mahal. Ia mencontohkan pengalamannya menggeluti usaha ternak sapi di Pulau Sumbawa. Untuk mengangkut satu ekor sapi dari Bima ke Jakarta, biayanya bisa 180 persen lebih besar dibandingkan mengangkut satu sapi dari Darwin (Australia) ke Jakarta.
”Pabrik-pabrik di Bandung kalau mau ekspor dari Jakarta hanya bisa dua kali pergi pulang untuk jarak 180 km, sementara di China bisa 3-4 kali untuk jarak yang sama. Jadi, bagaimana kita mau bicara daya saing,” ujarnya.
Tertinggalnya infrastruktur menyebabkan rendahnya pula potensi pengembangan ekonomi wilayah karena pertumbuhan ekonomi mengikuti panjang jalan. Itu juga terbukti dari pertumbuhan ekonomi wilayah Jabar dan Jatim bagian selatan yang relatif tertinggal dibandingkan wilayah pantura karena infrastruktur yang relatif tertinggal.
Hal ini menjadi pesan bagi siapa pun pemimpin yang nanti terpilih pada Pemilu 2009, untuk memprioritaskan pada pembangunan infrastruktur jalan, pelabuhan udara, pelabuhan laut, dan lainnya, karena itu sangat penting untuk menumbuhkan ekonomi, mengatasi kesenjangan dan memerangi kemiskinan. (TAT)
Kesalahan Manajemen
Jumat, 24 April 2009 04:19 WIB
Pengajar Magister Perencanaan Kota dan Daerah (MPKD) yang juga Ketua Jurusan Perencanaan Kota Universitas Gadjah Mada (UGM) Sudaryono mengatakan, manajemen pembangunan infrastruktur di daerah pascaotonomi daerah (otda) justru memburuk sehingga banyak pembangunan yang sia-sia.
”Banyak infrastruktur yang dibangun hanya sebagai 'penanda' prestasi partai dan birokrat yang berkuasa. Yang penting untuk rakyat diabaikan, tapi yang tak berguna justru dibangun,” katanya.
Tak jauh berbeda dengan sebelum pelaksanaan otda, penyediaan infrastruktur hingga saat ini, menurut Sudaryono, lebih pada ”pengaturan” daripada ”pelayanan”. Lebih pada ”keinginan” daripada ”pemenuhan kebutuhan” masyarakat. Dan tentu saja lebih menjadi ”sumber PAD (pendapatan asli daerah)” daripada untuk ”kenyamanan”.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa MPKD UGM, menurut Sudaryono, menunjukkan banyaknya kesia-siaan pembangunan infrastruktur di daerah tersebut. Contohnya, pembangunan Terminal Air Sebakul Kota Bengkulu (Hengki Suprianto, 2004). Terminal ini akhirnya tidak terpakai optimal karena jarak dari kota terlalu jauh sehingga ongkos pencapaian ke terminal lebih mahal daripada ongkos ke simpul halte terdekat. Manajemen terminal juga lemah.
Contoh lainnya adalah pembangunan terminal baru Kota Dumai. Penelitian Fahmi Abdullah Abidin (2007) menemukan bahwa terminal tidak berfungsi efektif karena tidak sesuai kebutuhan masyarakat, kesalahan pemilihan lokasi (bias kota besar, padahal ukuran kota masih tergolong kota sedang/kecil), tidak adanya kajian yang mendalam, tidak terintegrasi dengan trayek angkutan kota, tarif angkot ke lokasi mahal, dan tidak banyak bis dan angkot yang masuk dan keluar.
Menurut Sudaryono, proyek-proyek ini banyak yang sia-sia karena memang tidak direncanakan dengan baik. Tujuan pembangunan proyek biasanya lebih untuk mengejar anggaran dibandingkan untuk memberi pelayanan kepada masyarakat. Proyek-proyek infrastruktur pun menjadi ladang subur korupsi pejabat di daerah dan juga politisi nasional.
Habis untuk belanja rutin
Direktur Islamic Development Bank Bambang Brodjonegoro mengatakan, problem utama buruknya infrastruktur di daerah karena sebagian besar APBD, terutama kabupaten/kota, habis untuk kebutuhan rutin seperti belanja pegawai dan belanja barang. Akibatnya, anggaran untuk perawatan maupun pembangunan infrastruktur menjadi terbatas.
”Masih sedikit pemkab/pemkot yang serius melakukan efisiensi belanja rutin agar masih ada dana cukup untuk pelayanan publik seperti infrastruktur,” kata dia. Bambang menambahkan, belum adanya ketentuan yang ketat tentang standar pelayanan minimum nasional untuk infrastruktur makin memperburuk komitmen pemda memperbaiki infrastruktur.
Sedangkan daerah yang kaya seperti Kalimantan Timur dan Timika, Papua, justru berlomba membangun infrastruktur perkantoran megah dan proyek mercu suar seperti pembangunan bandara hingga pembelian pesawat, tetapi abai terhadap infrastruktur dasar lainnya. Beberapa infrastruktur mercu suar tersebut akhirnya sia-sia dan tidak berkelanjutan, seperti pesawat pilatus yang dibeli Pemda Mimika yang mangkrak.
”Belum adanya enforcement terhadap standar pelayanan nasional untuk infrastruktur, daerah-daerah yang berlebih APBD-nya tersebut. Mereka juga tidak punya perencanaan daerah yang kuat dan jelas prioritasnya,” kata dia.
Akibatnya, dana tersebut dihamburkan untuk keperluan yang tidak terlalu mendesak dan melupakan kebutuhan dasar masyarakat termasuk infrastruktur seperti jalan dan pengairan.
Faktor lainnya, menurut Bambang, adalah seretnya transfer uang dari pusat ke daerah.
”Dari segi keuangan daerah, daerah-daerah tersebut adalah daerah yang menerima bagi hasil sumber daya alam yang cukup besar tapi pencairan dana tersebut ke daerah dari pusat memang kurang mendukung tercapainya pembangunan yang terencana dalam satu tahun anggaran mengingat dana menumpuk di semester kedua,” kata dia.
Akibatnya, proyek tidak berjalan lancar dan akhirnya terjadi surplus yang besar dan butuh persetujuan DPRD lagi untuk menjadi suatu proyek atau aktivitas tahun fiskal berikutnya. Fenomena anggaran yang tersedot lebih banyak untuk anggaran rutin sebenarnya bukan hanya monopoli daerah.
Data Bappenas menunjukkan, pada 1999, berdasarkan catatan Bappenas, porsi anggaran untuk pembangunan masih 37,5 persen dari PDB, tahun 2003 tinggal 17,6 persen. Dari angka itu, porsi untuk sektor transportasi sekitar 12 persen-13 persen.
Tren ini masih berlanjut hingga sekarang. Data empat tahun terakhir yang diungkapkan Direktur Perencanaan Makro Bappenas Bambang Prijambodo menunjukkan, belanja modal atau anggaran pembangunan nyaris tak tumbuh dalam empat tahun terakhir. Kondisi sebaliknya terjadi pada belanja barang atau konsumsi.
Birokrat dan politisi, baik dari pusat kekuasaan di Jakarta dan daerah, memang sama-sama berutang pada rakyat di daerah yang hidup dalam kekurangan.(AIK/TAT)
Menjaga Kesinambungan Reformasi Infrastruktur
Jumat, 24 April 2009 04:22 WIB
Oleh Bambang Susantono
Pencanangan program pembangunan infrastruktur pada saat pertemuan puncak infrastruktur 2005 sebenarnya memiliki makna yang jauh lebih besar ketimbang hanya menawarkan berbagai jenis proyek kepada investor.
nti dari pertemuan tersebut adalah dimulainya reformasi pembangunan infrastruktur melalui serangkaian rencana tindak berupa revisi peraturan perundangan, peningkatan alokasi anggaran pemerintah, pemisahan fungsi regulator dan operator, dan memperbesar kesempatan bagi pemda dan swasta untuk membangun infrastruktur.
Reformasi perundang-undangan yang saat ini hampir tuntas memberikan fondasi bagi rencana tindak lainnya. Peraturan perundangan yang lama pada umumnya tidak memberikan kesempatan yang luas kepada pemerintah daerah dan swasta untuk ikut berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur.
Pascapertemuan puncak infrastruktur 2005 beberapa UU dan peraturan pelaksanaannya telah diselesaikan, antara lain tentang jalan (jalan tol), sumber daya air (air minum), perkeretaapian, pelayaran (pelabuhan), dan penerbangan (bandara).
Banyak pihak tercengang melihat kebutuhan yang demikian besar yang diumumkan pada pertemuan puncak tersebut. Proyeksi saat itu memperlihatkan sekitar Rp 1.305 triliun dibutuhkan pada periode 2005-2009 untuk membangun kembali infrastruktur Indonesia pascakrisis 1997/1998.
Dari jumlah tersebut kekuatan dana pemerintah diperkirakan hanya sekitar 17,2 persen atau sekitar Rp 225 triliun. Sisanya, sebesar 82,8 persen, harus dicarikan dari berbagai pendanaan dalam dan luar negeri, baik melalui pinjaman maupun partisipasi swasta dalam proyek infrastruktur.
Empat tahun setelah pertemuan puncak, struktur perekonomian kita yang semakin kokoh telah memberikan keleluasaan fiskal untuk mengalokasikan dana bagi pembangunan infrastruktur.
Apabila pada tahun 2005 pemerintah hanya mampu mengalokasikan dana Rp 31,7 triliun, tahun 2009 dapat dialokasikan Rp 61,7 triliun, peningkatan 100 persen dibandingkan dengan tahun 2005.
Anggaran ini dialokasikan bagi lima kementerian, yaitu Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Komunikasi dan Informatika, dan Kementerian Negara Perumahan Rakyat.
Jumlah ini belum termasuk anggaran yang langsung di transfer ke daerah berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dana otonomi khusus untuk infrastruktur yang dalam kurun waktu 2005-2009 telah dialokasikan sebesar Rp 55,6 triliun dan Rp 31,1 triliun.
Keseluruhan dana ini bila ditotal mencapai sekitar Rp 321,6 triliun, atau lebih besar daripada proyeksi pendanaan pemerintah dan donor pada pertemuan puncak 2005.
Jumlah ini belum termasuk anggaran BUMN infrastruktur utama, seperti PLN, PGN, Telkom, Angkasa Pura, Pelindo, dan Jasa Marga. Juga belum termasuk hitungan dana APBD provinsi dan kabupaten/kota untuk infrastruktur. Total anggaran infrastruktur diperkirakan 3-4 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Sebelum krisis ekonomi 1997, investasi Indonesia di bidang Infrastruktur mencapai sekitar 7 persen PDB. Investasi sebesar itu telah berhasil menjadi sokoguru pertumbuhan ekonomi nasional sehingga pada saat itu Indonesia termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, sejajar dengan negara-negara lainnya di kawasan Asia, seperti Malaysia, Korea, dan India.
Setelah krisis 1997, investasi infrastruktur turun drastis ke angka hanya sekitar 1-2 persen dari PDB dan setelah itu berangsur meningkat pada kisaran 2-3 persen dari PDB. Agar infrastruktur dapat berperan maksimal dalam menunjang perekonomian, para ahli sering kali menggunakan angka 5-6 persen dari PDB sebagai rule of thumb alokasi untuk pembangunan infrastruktur.
Belum cukup
Meskipun terdapat peningkatan yang signifikan pada anggaran pemerintah dan BUMN untuk membangun infrastruktur dasar, jumlah dana yang ada belum cukup untuk mengatasi ketertinggalan infrastruktur pascakrisis 1997/1998.
Peningkatan anggaran di sisi publik belum diikuti oleh kinerja di sisi swasta melalui proyek-proyek kerja sama pemerintah dan swasta.
Evaluasi terhadap permasalahan yang ada menunjukkan adanya empat hal, yaitu (1) kurang matangnya persiapan proyek sehingga penawaran tidak dapat direspons dengan baik oleh pasar; (2) faktor pembebasan lahan yang berlarut-larut; (3) ketidakmampuan investor untuk menggalang pendanaan sehingga tidak tercapai financial closure; dan (4) risiko proyek yang dianggap masih terlalu tinggi untuk dipikul oleh swasta.
Kekurangmatangan persiapan proyek diharapkan dapat dihindari dengan fasilitas penyiapan proyek (project development facility/PDF). Fasilitas ini dapat digunakan oleh instansi pemrakarsa proyek kerja sama pemerintah-swasta (public private partnership/PPP) agar proyek yang akan ditawarkan lebih bankable.
Melalui fasilitas ini akan disiapkan sekitar 16 proyek nasional dan 40 proyek regional. Proyek-proyek PPP ini tercantum dalam PPP Book yang telah diluncurkan Bappenas pada Maret lalu. Penawaran proyek kepada investor akan sangat bergantung pada kondisi pasar.
Oleh karena itu, sebelum proses lelang dimulai, akan didahului dengan proses jajak pasar untuk mengetahui minat pasar terhadap proyek PPP yang ditawarkan.
Beberapa instrumen kebijakan telah disediakan untuk memperlancar masalah pembebasan lahan adalah land capping, land freezing, dan land acquistion fund. Untuk memberi kepastian pembiayaan tanah, pemerintah telah memberi batas atas (capping) bagi investor untuk menanggung biaya pembebasan lahan.
Apabila investor membayar lebih dari batas tersebut maka pemerintah akan menanggung sisanya. Ketentuan ini dilengkapi dengan penyediaan dana akuisisi lahan di mana investor dapat meminjam sejumlah dana untuk membebaskan lahan sehingga tidak terlalu terbebani atas cost of money proses pembebasan lahan.
Dengan skema ini tentunya investor dapat lebih mudah untuk menghitung biaya transaksi tanah di dalam rencana bisnis. Agar tidak terjadi spekulasi tanah, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional telah memberikan mekanisme pembekuan jual beli lahan (land freezing) di mana tanah tak dapat diperjualbelikan tanpa seizin kepala daerah.
Permasalahan pendanaan karena kesulitan ekuitas ataupun pinjaman akan dicoba diatasi melalui pembentukan infrastructure fund (IF) yang akan berfungsi sebagai sumber ekuitas dan katalisator bagi pembiayaan proyek-proyek PPP.
Keberadaan IF diharapkan dapat menjembatani financial mismatch antara kebutuhan investasi jangka panjang infrastruktur dengan ketersediaan dana jangka pendek di pasar uang. Untuk kepentingan ini, pemerintah telah membentuk PT Sarana Multi Infrastruktur yang nantinya akan membentuk anak perusahaan (joint ventures) yang secara operasional akan membiayai proyek.
Saat ini sedang dipersiapkan pembentukan Indonesia Infrastructure Fund Facilities (IIFF) bersama dengan sejumlah lembaga multilateral/bilateral seperti ADB (140 juta dollar AS), Bank Dunia (proses negosiasi, 140 juta dollar AS), dan DEG-KFW Jerman (indikasi tentatif 20 juta dollar AS).
Pemerintah sendiri telah memberikan modal awal sebesar Rp 1 triliun kepada PT SMI, di mana Rp 600 miliar direncanakan akan menjadi ekuitas IIFF, sedangkan sisanya Rp 400 miliar akan dikelola oleh PT SMI.
Permasalahan persepsi risiko yang masih tinggi dicoba diatasi melalui institusi penjaminan Guarantee Fund (GF) yang ditargetkan terbentuk Juni 2009. GF diharapkan dapat menurunkan profil risiko dari sebuah proyek infrastruktur yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya transaksi keuangannya.
Lembaga ini direncanakan memiliki fasilitas penunjang (backstop facility) dari lembaga pendanaan multilateral seperti Bank Dunia atau ADB berupa dana yang sewaktu-waktu dapat digunakan bila diperlukan.
Jenis risiko yang akan dijamin utamanya adalah risiko politik yang erat kaitannya dengan kewenangan pemerintah. Pemerintah telah mengalokasikan Rp 1 triliun sebagai modal awal GF yang akan dikelola secara profesional berdasarkan prinsip komersial.
Bambang Susantono Deputi Menteri Koordinasi Perekonomian Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah
Komentar