BANGUNAN KUNO DI SEMARANG
Semarang pernah menjadi sebuah kota pelabuhan penting di masa lalu, tapi ia bukan satu-satunya. Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia punya banyak kawasan seperti itu; ada Sunda Kelapa di Jakarta dan Tanjung Perak di Surabaya. Proses penetrasi budaya asing terjadi di semua tempat itu, dan bekas-bekasnya masih terlihat, terutama dalam bentuk bangunan-bangunan tua.
Yang membuat ‘Kota Lunpia Semarang’ spesial adalah, banyak dari warisan masa lalunya masih lestari hingga kini. Yang saya maksud ‘masa lalu’ bukan hanya dari awal abad ke-20, tapi jauh ke belakang hingga ke masa 300 tahun silam. Bangunan-bangunan tua tetap kokoh berdiri meski para arsitek dan buruh yang membangunnya telah mangkat. Mereka bertahan melawan waktu, dari zaman Kerajaan Mataram, ke masa penjajahan, hingga ke masa sekarang. Jika banyak orang bilang bangunan tua lebih kuat dibanding bangunan zaman sekarang, Semarang adalah buktinya.
Itulah yang mungkin membuat banyak orang terkesan dengan Semarang. Arsitektur kotanya sangat bervariasi berkat keberadaan bangunan jaman dulu (jadul bahasa gaulnya) yang seolah-olah datang dari “dunia lain”.
Saya berdiri di tengah ibukota Jawa Tengah ini, tapi serasa sedang berada di Eropa abad pertengahan, di sebuah negeri yang ditumbuhi gedung-gedung klasik.
‘Melihat gedung-gedung tua dari dunia lain’, itulah alasan saya datang ke Semarang. Penelusuran dimulai dari kawasan Kota Lama yang membentang dari sungai Mberok hingga daerah Pengapon.
Kawasan Kota Lama dijuluki Little Netherland oleh Prof Eko Budihardjo pakar tata kota UNDIP. Areanya berada di dalam Benteng Vijfhoek yang dibangun Belanda di zaman VOC. Vijfhoek memiliki lima sudut, mengacu pada desain standar benteng di negeri kincir angin kala itu. Benteng ini dibongkar Belanda pada 1824, tapi untungnya, tak semua gedung dirobohkan. Sejumlah bangunan dengan arsitektur Eropa masih berdiri sampai kini. Memang ada yang rusak karena kurangnya perawatan dan rembesan air laut, namun ada juga yang masih utuh.
Saya mengunjungi Stasiun Kereta Api Tawang, salah satu stasiun tertua yang dibangun Belanda di awal 1900-an. Di hadapannya terdapat sebuah kolam besar (polder) pengendali banjir.
Melangkahkan kaki mengikuti sisi kiri polder, saya tiba di Stadschouwburg, bekas aula pertunjukan yang sekarang dikenal sebagai Marabunta. Saya tahu nama itu adalah nama semut, karena ada sebuah patung semut merah raksasa bertengger di atas gedung, orang sering bilang gedung ini adalah “gedung semut”, tetapi bukan gedung tempat beraktivitasnya para semut. Patung itu merupakan lambang perusahaan ekspedisi Marabunta yang berkantor di sini sejak 1956.
Saya bertemu Nasution, pria berdarah Batak yang telah bekerja lebih dari setengah abad di Marabunta. Katanya, gedung ini telah mengalami banyak perubahan. Hiasan kaca patri yang memenuhi hampir seluruh sisi gedung dipasang oleh perusahaan tempatnya bekerja. Begitu juga dengan bangunan kapal kayu di sudut ruangan yang kini difungsikan sebagai bar.
Bagian asli dari gedung yang tersisa hanyalah langit-langit kayu. Bentuknya seperti perahu besar terbalik, dengan pilar-pilar penyangga sebagai tiang layarnya. Kemegahan arsitektur Eropa masih terpancar jelas dari tempat ini, meskipun sekilas catnya sudah terlihat agak kusam.
Stadschouwburg di Semarang tempo dulu mungkin seperti Esplanade bagi Singapura sekarang. Berbagai pertunjukan-pertunjukan kelas dunia pernah digelar di sini. Pak Nasution masih ingat salah satunya, yakni pementasan kelompok drama yang terkenal di era 1930-an, Dardanella.
Melanjutkan penelusuran ke arah timur, di Jalan Ronggowarsito terdapat Susteran Katolik Fransiskan. Bangunan bercat merah bata ini masih mempertahankan bentuk aslinya. Kalau pun ada yang berubah, paling hanya jendela-jendela yang posisinya menjadi lebih pendek karena pengurugan dasar bangunan akibat naiknya permukaan air laut.
Gereja-gereja tua memang selalu memancing kesan takjub. Bangunannya biasanya dipenuhi motif pahatan dan memiliki atap runcing yang menjulang ke langit. Tapi di Semarang ada satu gereja yang desainnya sangat unik: Gereja Blenduk. Gereja Protestan pertama di Semarang ini didirikan pada 1753 dan telah mengalami beberapa kali pemugaran. Dinamakan blenduk karena kubahnya yang bulat laksana perut ibu hamil.
Saya penasaran ingin melihat apakah bagian dalamnya juga unik. Setelah mengisi buku tamu, saya pun diperkenankan masuk. Sedikit terkejut karena ruangan dalam ternyata tak terlalu luas, padahal gereja tampak megah dari luar. Usut punya usut, ternyata penyebabnya adalah dinding Gereja Blenduk yang tebalnya tiga kali dinding normal sehingga memakan ruang cukup banyak, tetapi berfungsi untuk penguatan sebagai penyangga.
Sentuhan elemen Jawa dan asing mengisi interior gereja. Kursi-kursi kayu beralas rotan berjejer di atas keramik kuno. Sementara sebuah orgel Jerman terpajang di salah satu dinding, namun sudah tak bisa berbunyi lagi. Pak Tio, penjaga gereja, mengatakan orgel itu berbunyi terakhir kali pada 1970-an. Kami berbicara dengan nada agak pelan, sebab efek gema di dalam sangat kuat akibat kubah gereja yang berdiameter besar.
Komentar