Kisah Perjalanan Haji Tahun 1998
Saya bersama istri mulai mendaftar haji sekitar bulan September 1997, saat pendaf-taran berlangsung nilai rupiah terhadap dolar Amerika masih sekitar Rp 2.350,00 per 1 $ US, jadi ongkos naik haji ditetapkan oleh pemerintah sebesar delapan juta lebih sedikit (nilai nominal riilnya sudah agak lupa). Alhamdulillah saya dan istri masih dapat tempat, meskipun harus berdesakan di Bank untuk berebut mendapat urutan depan, sehingga dari pagi sudah ngantri di depan loket pembayaran Bank, sehingga bisa berangkat pada periode haji tahun 1998.
Banyak kisah menarik yang saya alami ketika akan pergi haji, antara lain, ketika mau melunasi biaya haji sebesar sekitar Rp 17 juta, tetangga belakang rumah datang menawarkan rumahhnya untuk dijual dengan harga Rp 35 juta, dia bilang karena Pak Parfi tetangga bisa ditawar, dia patok harga menjadi 30 juta rupiah. Dalam hati saya, mungkin kalau saya tawar 25 juta rupiah pasti akan dikasihkan, tetapi kalau saya beli rumah tersebut, saya nggak jadi pergi haji – seperti menghitung suara tokek – beli rumah dan hajinya lain kali, atau tidak beli rumah tapi bisa haji – beli, tidak beli – haji dulu, nambah rumah dulu – bingung juga hati ini, bimbang rasanya saat itu. Toh saya masih muda, baru berusia 42 tahun, kesempatan haji masih panjang, aahh ....... niat haji kan sudah lama, kenapa diundur lagi. Alhamdulillah, akhirnya tetap mantab pergi haji, kalau Allah ridho, pasti suatu saat saya akan bisa nambah rumah juga, amin.
Tiba di Jeddah bandara King Abdul Aziz jam 15.00 wib, atau jam 11.00 waktu Arab Saudi. Di Jeddah diberi makan, kemudian mandi, berwudhu langsung pakai ihrom, sholat dluhur dan asar dijama’ secara berjamaah. Yang repot di sini adalah ngurus barang, pemeriksaannya memang cepat tetapi yang diperiksa banyak sekali, bukan hanya dari Indonesia saja. Ketika turun dari pesawat, yang datang dari Indonesia ada 4 kloter (artinya 4 pesawat dari Indonesia mendarat berurutan), dari Brasil 1 pesawat, orang Brasil mendarat sudah pada berpakaian ihrom semua, kemudian dari Turki. Dalam pemerik-saan saya diberi tahu ibu saya yang sudah punya pengalaman pergi haji, dianjurkan supaya memilih pemeriksa yang terpelajar, biasanya ditandai dengan orang Arab yang berkulit putih, mereka lebih sopan dibanding-kan dengan Arab hitam, dan yang penting “tidak njalukkan” – artinya tidak neko-neko dalam memeriksa, biarpun urutannya panjang tapi pilihlah dalam urutan yang pemeriksanya orang Arab putih. Alhamdulillah meskipun capek tapi lancar, handphone dan kamera serta obat-obatan yang saya bawa tidak dipermasalahkan.
Komentar