Arus Balik Antikorupsi




TAJUK RENCANA "KOMPAS" - Senin, 10 Januari 2011

Boleh jadi, negeri ini sedang getol memproduksi absurditas. Jumat pekan lalu, seorang terdakwa kasus korupsi dilantik sebagai Wali Kota Tomohon.

Keesokan harinya, Sabtu, Wali Kota Tomohon Jefferson Rumajar melantik sejumlah pejabat Kota Tomohon di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Sorotan televisi menayangkan saat Wali Kota Tomohon—yang berstatus terdakwa kasus korupsi APBD 2006-2008—menuntun pembacaan sumpah jabatan pejabat yang, antara lain, berisi, ”tidak akan memberi atau menerima apa pun yang berkaitan dengan jabatannya”.

Terasa agak ironis memang, tetapi itulah faktanya. Cerita itu juga bukan fiksi, tetapi sebuah kenyataan. Boleh jadi itulah peristiwa pertama di Indonesia, bahkan mungkin dunia. Seorang terdakwa kasus korupsi keluar dari LP Cipinang untuk dilantik sebagai wali kota dan selanjutnya kembali ke LP Cipinang. Di LP Cipinang itu pulalah, keesokan harinya, ia melantik para pejabat Kota Tomohon. Alasannya: agar pemerintahan bisa berjalan.

Dari sudut pandang legalistik, boleh jadi kita tidak bisa mempersalahkan pelantikan itu. Mahkamah Konstitusi telah menetapkan Jefferson Rumajar dan Jimmy F Eman yang diajukan Partai Golkar sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tomohon terpilih. Selanjutnya, Wakil Wali Kota Tomohon akan melaksanakan tugas sebagai pelaksana harian wali kota sampai kasus hukum Jefferson tuntas.

Kasus Jefferson sebenarnya hanya menambah absurditas yang sudah ada. Kita masih ingat bagaimana ”joki” bisa menggantikan seorang napi di penjara hanya dengan uang Rp 10 juta. Kita masih belum lupa seorang Gayus Tambunan yang ditahan di Rumah Tahanan Brimob bisa membuat aparat kita bertekuk lutut di hadapannya dan tak berdaya ketika Gayus ingin pelesir ke luar negeri.

Jika dari aspek legalitas tak bisa digugat, pertanyaannya kemudian, apakah fenomena itu tak melukai rasa keadilan masyarakat. Menurut catatan harian ini, paling tidak ada sembilan tersangka/terdakwa kasus korupsi yang masih memimpin wilayahnya. Akankah negeri ini menjadi negeri dipimpin para tersangka? Kita hanya berharap, janganlah!

Muncul juga pertanyaan, apakah rangkaian kejadian ini bukan meledek pemberantasan korupsi yang gencar disuarakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada saat kampanye berkomitmen memimpin sendiri pemberantasan korupsi. Apakah niat memberantas korupsi di wilayah itu bisa diwujudkan jika pimpinannya seorang tersangka atau terdakwa kasus korupsi? Apakah ini juga bukan pertanda arus balik pemberantasan korupsi?

Kita hanya bertanya, apakah absurditas yang sedang kita produksi tidak bakal mematikan gerakan antikorupsi? Ketika publik berwacana agar terpidana kasus korupsi dimiskinkan secara sosial dan ekonomi agar timbul efek jera, faktanya, si aktor malah bisa melakukan pencucian politik melalui proses demokrasi. Kita berharap, pembahasan revisi UU Pemilihan Kepala Daerah bisa menghentikan absurditas ini!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gerakan Tanah (Longsoran)

PETRUK

SEMAR