Faktor-faktor penyebab takabur
Takabur -yang telah kita ketahui definisinya- merupakan penyakit hati tingkat tinggi yang harus diwaspadai oleh semua muslim, termasuk aktifis dakwah. Dikatakan penyakit hati tingkat tinggi karena sejarah iblis laknatullah dimulai dari penyakit satu ini. Merasa lebih tinggi dari Adam, ia lalu mendurhakai perintah Allah untuk bersujud padanya. Abaa wastakbara, kata Al-Qur’an. Demikian pula para penguasa taghut yang menjadi musuh para nabi dan rasul, semuanya dihinggapi penyakit ini.
Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab suatu penyakit, diharapkan kita bisa menghindarinya. Demikian pula dengan takabur ini. Ada beberapa faktor penyebab yang semoga setelah kita mengetahuinya lalu berupaya keras untuk menghindarinya, sebagaimana kita menghindari api yang telah kita ketahui panasnya bisa membakar kita.
Berikut ini adalah sebagian dari faktor penyebab takabur:
1. Salah dalam Memahami Hakikat Dirinya
Iblis sebagai makhluk pertama yang dihinggapi takabur hingga membuatnya terlempar dari surga, melakukan kesalahan fatal dalam memandang hakikat dirinya. Ia lupa betapapun ia ditempatkan di surga, sebenarnya ia adalah makhluk Allah.
Demikian pula orang yang takabur, terutama ketika merendahkan orang lain. Ia salah dalam memandang hakikat dirinya yang pada mulanya tercipta dari air yang hina.
Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. (QS. As-Sajdah : 8)
Ia tidak ingat ayat ini. Ia tidak menyadari hakikat dirinya. Yang ia tahu ia kini adalah manusia dengan organ yang sempurna, sosok yang hebat, dan wajah yang rupawan. Berbagai potensi yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, mulai dari kecerdasan sampai kekayaan dan kekuasaan, dianggap sebagai milik dirinya sendiri. Hingga segala kelebihan dari fisik hingga akal itu dipahami sebagai hakikat dirinnya.
2. Salah dalam Memahami Hakikat Kemuliaan
Ketika iblis mengaku lebih mulia dari Adam, ia menggunakan parameter yang salah dalam mengukur kemuliaan.
Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: "Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?" (QS Israa’ : 61)
Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Iblis menjawab: "Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". (QS Al A’raaf :12)
Jika iblis memahami hakikat kemuliaan ditentukan dari asal penciptaan, orang seperti Fir’aun memahami hakikat kemuliaan ditentukan oleh kekuasaan. Lalu orang seperti Qarun menganggap kemuliaan ditentukan oleh kekayaan. Dan orang seperti Haman menganggap kemuliaan ditentukan oleh kekuatan dan kecerdasan.
Tiga hal yang disebutkan terakhir ini barangkali saat ini amat dominan dipakai sebagai logika kemuliaan. Maka jika kebenaran berasal dari mereka yang tidak lebih berkuasa akan ditolak. Al-haq yang dibawa oleh mereka yang tidak lebih kaya dari dirinya tidak akan diterima. Dan keadilan yang dilantangkan oleh mereka yang tidak lebih kuat dari dirinya juga akan diabaikan.
Ada hal lain yang juga menjadi standar salah dalam memandang hakikat kemuliaan. Misalnya usia, pengetahuan, pengalaman, bahkan jasa. Termasuk dalam dakwah. Maka kadang terjadi aktifis dakwah yang terjebak pada takabur dan tidak mau menerima kebenaran karena merasa usia perjuangannya lebih lama, pengalaman dakwahnya lebih banyak, atau jasanya lebih besar. Hingga ada pula yang karena memandang dirinya adalah qiyadah, maka perbedaan yang dibawa oleh jundiyahnya selalu dianggap salah. Kesalahan dalam memahami hakikat kemuliaan bisa menjerumuskan kita ke dalam ke-takabur-an sebagaimana iblis diusir dari surga dan dilaknat Allah selama-lamanya.
3. Tidak Memiliki Pemahaman yang Benar tentang Hakikat Kebenaran
Ali radhiyallaahu anhu terkenal dengan kata-katanya: ”Lihatlah apa yang diucapkan dan jangan lihat siapa yang mengucapkan.” Seringkali kita memahami maqalah ini sebagai upaya untuk obyektif menilai kebenaran. Namun di sana juga ada nilai bahwa kebenaran akan selamanya benar meskipun datangnya dari siapapun.
Jika kita memiliki standar penilaian yang benar, insya Allah kita akan lebih selamat dari bahaya menolak kebenaran, sebuah sikap yang merupakan inti takabur. Dan kebenaran itu adalah apa yang benar menurut Allah dan Rasul-Nya (Al-Qur'an dan Sunnah), siapapun yang mengatakannya.
4. Mengira bahwa Nikmat itu Kekal pada Dirinya
Orang yang takabur biasanya lupa bahwa alasan yang melatarinya untuk berbuat demikian tidaklah abadi pada dirinya. Kenikmatan yang ia rasakan, yang dengannya ia menyombongkan diri hanyalah bersifat sementara. Allah bisa mencabutnya dalam waktu yang cepat dan tak terkira.
Tidak peduli apakah kenikmatan yang kemudian disombongkan itu berupa harta, keturunan, popularitas, jabatan, kekuasaan, dan sebagainya. Perihalnya menyerupai orang yang digambarkan Allah SWT dalam salah satu firnam-Nya:
Dan dia memasuki kebun sedangkan dia zalim terhadap dirinya sendiri. Ia berkata, "Aku kira kebun itu tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang. Sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku pasti aku akan mendapatkan tempat yang lebih baik daripada kebun-kebunku itu." (QS. Al-Kahfi : 35-36)
5. Sikap Tawadhu’ Orang Lain yang Berlebihan
Ini adalah faktor eksternal yang bisa menyebabkan seseorang mejadi takabur. Sebab orang-orang di sekelilingnya terlalu tawadhu secara berlebihan kepada dirinya. Sebab ini sering dijumpai pada pemimpin atau guru yang takabur disebabkan lingkungan seperti ini. Pengikut yang tawadhu', selalu menghormatinya, dan tidak pernah menasehatinya, mengarahkan seseorang berpikiran bahwa ia adalah orang mulia dan jauh dari kesalahan. Guru yang selalu dihormati muridnya dan mendapatkan kemuliaan dari mereka juga berpotensi menganggap dirinya sempurna. Jadilah ia takabur. Tidak menutup kemungkinan hal ini juga menimpa ulama. Karenanya mencium tangan seseorang baik itu pemimpin maupun ulama dimakruhkan oleh sebagian ulama.
Begitu pula penghormatan dengan berdiri dan berbagai bentuknya. Selain itu merupakan bentuk ketawadhu'an yang memperlemah posisi orang yang melakukan, juga bisa menjadi faktor penyebab takabur bagi orang yang diberi penghormatan.
Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri untuk menghormatinya, maka bersiaplah untuk menempati tempat duduk dari api neraka. (HR. Abu Daud)
Dalam kesempatan yang lain beliau bersabda:
Janganlah kalian berdiri menyerupai orang-orang yang saling mengagungkan satu sama lain (HR. Abu Daud)
6. Pujian Orang Lain di Depannya Secara Berlebihan
Selain ketawadhuan, pujian orang lain didepan seseorang juga berpotensi membawa takabur pada orang yang dipuji. Karenanya Rasulullah mengingatkan, bahkan dengan tegas kepada orang yang suka memuji orang lain di depannya, apalagi secara tidak proporsional.
Rasulullah memerintahkan kami untuk menaburkan tanah ke muka orang yang suka memuji (HR. Muslim)
7. Lalai terhadap Dampak Buruk Takabur
Orang yang takabur biasanya karena ia lalai terhadap dampak takabur. Kelalaian di sini bukanlah kelalaian secara pengetahuan atau kognitif. Sebab betapa banyak orang yang secara teori hafal dampak buruk takabur tetapi ia tetap melakukannya.
Kelalaian di sini lebih dalam maknanya daripada itu. Yakni memahami dan menyadari bahwa jika ia melakukan takabur dampak buruk dunia akhirat bisa menghancurkannya. Di saat seseorang sadar akan bahaya yang menimpanya, maka ia akan menghindari perbuatan itu. Sementara pengetahuan atau hafalan yang tidak mencegah seseorang dari takabur, belumlah mengeluarkan ia dari kelalaian yang sebenarnya.
Demikian 7 faktor penyebab takabur, semoga dengan mengetahuianya Allah menjadikan kita paham akan sebab-sebab yang bisa menjerumuskan kita pada takabur. Dengan pemahaman itu kita berdoa kepada Allah agar dihindarkan dari ketujuh hal itu dan diselematkan dari takabur.
Komentar