Kemangkusan Pemerintahan

Kemangkusan Pemerintahan
KOMPAS - Rabu, 19 Januari 2011 | 04:05 WIB

Bambang Kesowo

Sistem presidensial dalam UUD 1945 mengacu pada kedudukan dan peran sentral presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dia memimpin administrasi sebuah negara. Tak hanya mengendalikan pemerintahan sebagai pemimpin tertinggi eksekutif, ia juga mengepalai negara.

Ketika memenangi pemilu, dia memperoleh mandat langsung dari rakyat dan kemudian menjadi administrator negara. Mengapa hal itu harus diungkap? Sesungguhnya perjalanan praktik kenegaraan kita selama ini terasa mengabaikan sesuatu yang esensial.

Sebagai kepala negara, presiden tak sepantasnya hanya diusung dengan simbol klise kepala sebuah negara, tetapi secara moral dan secara hukum semestinya presiden memang secara substansial ditampilkan sebagai pemimpin keseluruhan gerak dan kegiatan negara secara nyata. Itulah kehidupan, gerak, dan kegiatan rakyatnya, ya lembaga-lembaga swadaya yang dibentuk rakyat, ya pemerintahan dan organ negara lainnya.

Masing-masing bergerak dalam peran sesuai dengan aturan yang dibuat untuknya dan tidak tumpang tindih meski pada waktu tertentu acap diperlukan adanya peran penyerasi. Menjaga keharmonisan dan keserasian pelaksanaan fungsi mereka seperti seorang dirigen adalah juga peran kepala negara, sang administrator negara. Apakah selama ini tak begitu?

Kewenangan konstitusional

Tuntunan UUD 1945 menunjukkan bahwa sebagai kepala negara, kewenangan konstitusional presiden ditengarai dengan pemilikan dan penggunaan hak prerogatif: memberi atau menolak grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi; mengangkat dan menerima duta besar; memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara; menyatakan perang dan membuat perdamaian; serta menganugerahkan gelar dan tanda jasa.

Banyak pandangan menyebut bahwa itulah kedudukan sekaligus batasan peran kepala negara. Penjelasan pada UUD sebelum empat kali amandemen mengatakan bahwa kewenangan tadi—selain tentang Kepolisian Negara—adalah konsekuensi dari kedudukan presiden selaku kepala negara. Undang-undang dibuat untuk memberi panduan bagaimana peran dan kewenangan tersebut digunakan.

Terlepas dari tepat-tidaknya konsep yang diletakkan dalam berbagai UU dan sebesar apa pun keinginan untuk mempertegas teori dan prinsip pemisahan kekuasaan negara, beberapa pertanyaan terhadap peran kepala negara yang limitatif tadi kini muncul.

Ketika masyarakat galau dengan kemandekan upaya penegakan hukum, merebaknya gejala kekerasan dan main hakim sendiri dalam masyarakat, usrek-nya persaingan tak sehat dan berbau pertikaian antarlembaga negara atau pemerintah, meluasnya kegelisahan sehubungan dengan tampilan kualitas demokrasi yang cenderung rusuh dan kian abai terhadap aturan, penyelenggaraan otonomi dan hak-hak kedaerahan yang sering dikatakan bagai kedaulatan in minor dan disertai ancaman pisah dari rumah besar NKRI, orang bertanya-tanya dan berharap presiden turun tangan.

Bahkan, melihat manajemen sepak bola nasional yang amburadul dan prestasi yang tak kunjung memberi kebanggaan, orang minta agar presiden turun tangan. Sebagai kepala negara, presiden dianggap sudah semestinya tak berdiam diri.

Pada saat sama, sebagai pemimpin lembaga pemerintah, presiden berada dalam kedudukan sejajar dengan lembaga negara lainnya. Tak boleh masuk dan tak boleh pula menabrak kewenangan lembaga negara lainnya. Lantas, siapa yang harus bertindak bila keadaan seperti sedikit contoh tadi berlarut-larut dan memburuk?

Haruskah semua itu dibiarkan demi cita-cita demokrasi dan kedewasaan pemegang kewenangan? Atau, harus menerimanya sebagai harga yang harus dibayar dalam proses transisi dan baru setelah keadaan jadi sedemikian jelek, presiden dibiarkan turun tangan dengan menyatakan negara dalam keadaan darurat?

Sistem konstitusi kita tak kenal pemisahan dengan tegas fungsi presiden sebagai kepala negara dan sebagai pemimpin pemerintah. Kalaupun langkah turun tangan tadi akan diambil, dan seandainya pun harus mengingat sumpah jabatannya berdasarkan UUD, tidak dapat dipisahkan hal itu diambil dalam kedudukannya sebagai kepala negara ataukah sebagai pemimpin pemerintahan.

Buka pintu kepada partai

Mungkin tak perlu berdebat lagi tentang hakikat dan konsep primus inter pares. Ketika kedudukan dan peran kepala negara telah dirumuskan secara limitatif dalam konstitusi, sedangkan sebagai pemimpin pemerintah dibatasi dengan berbagai tidak boleh ini dan tidak boleh itu, tampaknya tak terlalu salah bila kemudian orang bertanya-tanya bagaimana sebaiknya menata kembali peran kepala negara dalam konstitusi kita.

Mungkin penataan kembali itu tak perlu. Sering terdengar wacana, determinasi dan keberanian presiden untuk bertindak sebagai pemerintah yang kuat dan mangkus (efektif) merupakan kunci utama.

Dalam sistem presidensial, presiden adalah pemimpin dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dipilih langsung oleh rakyat, pertanggungjawabannya hanya kepada rakyat. Hubungan dengan lembaga negara—khususnya DPR—adalah setara meski dalam fungsi pengawasan, DPR dapat menilai apakah presiden telah melanggar UUD dan berujung pada pemakzulan di MPR.

Dalam sistem ini, peran partai politik tak melintas ke ranah kepresidenan. Ia sesungguhnya hanya berhenti di DPR dan MPR. Bahwa praktik selama ini presiden sendiri yang ”membuka pintu” bagi partai politik, membentuk koalisi di DPR untuk membangun dukungan politik bagi stabilitas pemerintahannya, lantas melemahkan sistem presidensial, maka hal itu adalah politik praktis belaka.

Sistem presidensial tak mensyaratkan hal demikian dan bukan pula bagian dalam mekanismenya.

Bila demikian, mengapa ketika kekacauan di bidang hukum berlangsung (sementara penegakan hukum minus proses pengadilan sebenarnya domain pemerintah), dan kehidupan demokrasi cenderung abai terhadap aturan (sementara penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah domain pemerintah), presiden lantas tak boleh memasuki wilayah tersebut hanya karena alasan tidak boleh intervensi atau tak boleh mencampuri proses pelaksanaan kedaulatan rakyat dan hak politik mereka?

Pastilah tak semua alasan pelarangan tadi tepat benar. Lantas, di mana letak persoalan yang kemudian mengesankan pemerintahan tidak mangkus?

Di luar sebab-sebab dan langkah yang mungkin timbul dari keyakinan politik presiden sendiri, masalah apa dan mana dalam konstitusi yang obyektif bikin presiden tak dapat bertindak mangkus?

Trauma terhadap ekses terlalu kuatnya posisi dan kewenangan presiden di masa sebelum amandemen UUD adalah fakta sejarah dan menjadi ingatan kolektif bangsa. Karena itu pula, penipisan kewenangan presiden sudah berlangsung dalam rangkaian empat amandemen yang lalu.

Meski begitu, Ikatan Alumni Lemhannas dalam konvensinya tahun 2007 menilai penipisan itu terlalu banyak. Dalam penilaian ikatan itu, sadar atau tidak penipisan kewenangan itulah yang pada gilirannya memberi pengaruh yang kurang menguntungkan terhadap operasionalisasi sistem presidensial, kinerja presiden, dan soal kemangkusan pemerintahan. Sebaliknya, penipisan itu malah menimbulkan kesan sekadar momentum mempertebal kewenangan DPR.

Timpang

Bukan saja DPR dapat menginisiasi pendapat atau penilaian yang kemudian berujung pemakzulan (Pasal 7B), sementara presiden tak dapat membekukan atau membubarkan DPR (Pasal 7C), dalam manajemen perundang-undangan pun kewenangan tersebut juga timpang. Penggeseran kekuasaan membuat UU ke DPR jelas tak menjadi persoalan teoretis.

Namun, ketika presiden tak punya hak tolak dan hanya ”bertugas” mengesahkan RUU (Pasal 20.4 Amandemen 1), sedangkan bila tak mengesahkan, maka RUU tetap akan sah menjadi UU setelah 30 hari sejak persetujuannya di DPR (Pasal 20.5 Amandemen 2), persoalan jadi lain.

Sistem konstitusi tiba-tiba menempatkan presiden dalam situasi tak sederhana, terutama ketika materi sebuah RUU tak sesuai dengan (atau sulit dilaksanakan dalam kaitannya dengan) pelaksanaan janji dan program yang telah ia tawarkan kepada rakyat selama pemilu, yang kemudian mengantarnya menjadi presiden.

Tak mengesahkan—apalagi tak melaksanakan—jelas bertentangan dengan sumpah jabatan. Besar-kecilnya hal itu memberi kanal politik yang dapat berujung ke pemakzulan. Secara teoretis dapat saja presiden memerintahkan sedari awal agar tak mengajukan RUU yang merugikan posisinya. Atau, dengan jelas meniadakan bagian dalam rancangan yang dinilainya tak sesuai dengan arah kebijakannya.

Presiden dapat pula dengan tegas menenggang RUU inisiatif DPR yang tak sejalan dengan arah kebijakannya, atau memerintahkan menteri yang ditugasi mewakilinya menyatakan ketaksetujuan saat proses berlangsung. Namun dalam praktik, selain faktor determinasi, sikap itu biasanya mengundang konflik politik yang terbuka dengan (partai politik di) DPR.

Bagaimanapun, ketentuan seperti itu bagai ranjau yang ditebar dalam UUD. Sedikit lebih dramatik, presiden bagai tersandera oleh ketentuan tadi. Kemangkusan kebijakan atau bahkan stabilitas pemerintah menjadi tak mudah diwujudkan.

Ketentuan yang semula dibangun untuk menggambarkan indahnya check and balances dalam sebuah sistem kemudian juga goyah oleh hadirnya ketentuan tentang pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara yang dalam Pasal 17 Ayat 4 hasil Amandemen 3 harus diatur dalam undang-undang.

Baik dalam teori maupun praktik hukum administrasi atau hukum tata negara, ketentuan tersebut sesungguhnya berlebihan. Ukuran dan bentuk organisasi kabinet seperti dalam sistem presidensial yang dianut UUD 1945 semestinya dengan ikhlas diserahkan sebagai domain presiden.

Organisasi jelas merupakan alat untuk mewujudkan tujuan. Besar-kecilnya kabinet—di luar bidang-bidang yang sifatnya standar—akan dipengaruhi atau ditentukan oleh besar-kecilnya tugas atau banyak-sedikitnya tujuan yang akan dicapai.

Bagaimana mungkin kemangkusan kabinet dapat terwujud apabila janji atau program kerja presiden sebenarnya tak memerlukan format kabinet dengan ragam kementerian negara yang diikat oleh ketentuan UU yang bagaimanapun bersifat baku?

Dengan janji dan kebijakan serta program kerja yang berbeda, presiden berikutnya juga akan sulit bekerja baik dengan format dan ukuran organisasi kabinet yang sebenarnya tak ia perlukan. Dengan gambaran yang agak lebar, soal kemangkusan pemerintahan juga dapat dilihat dari sisi lain.

Akibat yang luas

Dalam Pasal 11 Ayat 2 Amandemen 3 ditentukan keharusan presiden meminta persetujuan DPR (terlebih dahulu) dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat. Konstruksi rumusan itu menimbulkan konsekuensi di bidang kemangkusan penyelenggaraan pemerintahan.

Apa dan yang manakah sesungguhnya ”akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat” itu? Bagaimana keputusan membuat atau tidak membuat harus diambil presiden dan kapan persetujuan harus dimintakan (terlebih dahulu)?

Kalau ketentuan tak dijalankan sebagaimana dirumuskan, untuk apa amandemen tadi? Sebaliknya, bila yang dimaksud adalah pemahaman yang normal bahwa setiap perjanjian internasional harus kemudian dimintakan persetujuan DPR sebelum dinyatakan berlaku bagi Indonesia, perlukah rumusan dibuat dengan nada kondisional seperti itu ?

Dalam penipisan kewenangan presiden menerima duta negara lain, apa sesungguhnya keuntungan sistem yang menambahkan keikutsertaan DPR (Pasal 13 Ayat 4 Amandemen 1)? Mengingat DPR bukan lembaga eksekutif yang mengadministrasikan hubungan antarpemerintah negara, jelas tidak akan mudah bagi DPR untuk berperan.

Bukankah hal itu hanya memperlarut pemberian pernyataan persetujuan kepada pemerintah negara lain dan bisa menimbulkan ganjalan tak perlu? Sebaliknya, kalau kemudian dalam praktik peran itu akhirnya tak mangkus digunakan, untuk apa hal itu dibuat demikian? Ataukah sekadar mempertegas politik untuk menipiskan kewenangan presiden?

Bambang Kesowo Anggota Dewan Penasihat Ikatan Alumni Lemhannas

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gerakan Tanah (Longsoran)

PETRUK

SEMAR