Dosa Perencana Pembangunan

Dosa Perencana Pembangunan
KOMPAS - Sabtu, 22 Januari 2011 | 04:45 WIB

Bagong Suyanto

Terlepas dari cara dan pilihan kalimat yang mungkin terkesan keras, apa yang dikemukakan para tokoh itu sebetulnya mencoba mengajak pemerintah untuk tidak terlalu larut dalam indikator makro pembangunan yang acap kali kurang memerhatikan realitas di tingkat mikro.

Mahbub ul Haq (1983), salah seorang ahli kemiskinan dari kubu teori ketergantungan, jauh-jauh hari telah mengingatkan, betapa bahayanya jika para perencana pembangunan terlalu percaya dan memuja angka statistik, sebaliknya tidak peka pada isu-isu dan persoalan nyata masyarakat miskin sehari-hari.

Ketika pemerintah atau negara mengklaim telah berhasil menghela laju pertumbuhan ekonomi dan asyik menghitung tingkat penanaman modal, biasanya yang dilupakan adalah apakah arus investasi yang masuk itu dipergunakan untuk kegiatan industri yang ramah tenaga kerja lokal atau tidak?

Tidak sedikit kasus membuktikan bahwa industrialisasi, yang berhasil didorong perkembangannya di sejumlah wilayah, ternyata sering kali lebih banyak menguras kekayaan sumber daya alam, menyebabkan kerusakan lingkungan, dan bahkan memarjinalkan masyarakat lokal.

Salah satu dosa perencana pembangunan yang paling tidak bisa dimaafkan, menurut Mahbub, adalah ketika para perencana pembangunan terlalu terpukau oleh tingginya laju pertumbuhan produk domestik bruto dan mengabaikan tujuan sebenarnya dari usaha pembangunan.

Kritik Mahbub memang tidak ditujukan kepada Indonesia, tetapi pertanyaan kritis yang dikemukakan Mahbub kepada negara tempat ia melakukan studi—Pakistan—sebenarnya bisa juga menjadi bahan introspeksi bagi Pemerintah Indonesia: Apalah artinya pertumbuhan ekonomi tinggi jika di sisi yang lain masih terjadi polarisasi tingkat kesejahteraan dan kesenjangan antardaerah yang mengusik rasa keadilan?

Indikator makro

Mengacu indikator kinerja pembangunan yang diekspos Badan Pusat Statistik dan bahkan sejumlah lembaga internasional, harus diakui apa yang dilakukan pemerintah selama ini telah membuahkan hasil: mendongkrak kembali angka pertumbuhan ekonomi dan mengurangi jumlah absolut penduduk miskin. Semua itu bukanlah hal mudah sehingga apa yang dicapai pemerintahan SBY-Boediono tetap perlu untuk diapresiasi.

Akan tetapi, masyarakat miskin tentu bukan sekadar membutuhkan laporan keberhasilan pembangunan dan angka-angka statistik, bukan pula sekadar perencanaan program pembangunan yang diskenariokan untuk kepentingan masyarakat miskin. Mereka terutama membutuhkan program pembangunan yang benar-benar berjalan efektif, bisa diakses, dan yang tak kalah penting program itu harus pula bersifat kontekstual.

Di tengah kondisi perekonomian yang masih belum sepenuhnya pulih, tekanan kebutuhan hidup yang makin mahal, iklim persaingan usaha yang makin ketat, dan lapangan kerja masih sulit didapat, kita tentu sepakat bahwa di Tanah Air ini masih banyak keluarga miskin yang kehidupannya makin terpuruk dan terjebak dalam spiral kemiskinan yang membelenggu. Sebuah keluarga miskin yang sumber penghasilannya makin kecil, sementara biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup makin melambung, tentu akibatnya bisa dengan mudah diprediksi: mereka makin rentan dan papa.

Dalam beberapa kasus, yang disebut keluarga miskin memang terkadang mampu tetap bertahan dan bahkan bangkit kembali, terutama jika mereka memiliki jaringan atau pranata sosial yang melindungi dan menyelamatkan. Tidak sedikit pula keluarga miskin yang berhasil memberdayakan diri dan keluar dari tekanan kemiskinan setelah mereka memperoleh dukungan dana dan program dari pemerintah. Namun, seseorang atau keluarga yang jatuh pada spiral atau perangkap kemiskinan, umumnya, sulit untuk bangkit kembali.

Seseorang yang dibelit perangkap kemiskinan acap kali tidak bisa ikut menikmati hasil pembangunan dan justru menjadi korban pembangunan, rapuh, tak meningkat kualitas kehidupannya, dan bahkan acap kali justru mengalami penurunan kualitas kehidupan.

Di daerah di mana industrialisasi tengah berkembang sangat pesat, tidak selalu ada jaminan bahwa perubahan yang terjadi juga melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Bahkan, bukan tidak mungkin masyarakat miskin yang ada di daerah itu justru hanya menjadi penonton dan mengalami penurunan taraf kehidupan karena terjadinya proses invasi dan suksesi pemilikan aset produksi penduduk asli kepada para pendatang.

Rakyat tak butuh janji

Dalam posisi yang serba tidak berdaya, rentan, dan mengalami proses marjinalisasi, apa yang dibutuhkan masyarakat miskin bukanlah janji-janji politik, apalagi klaim-klaim yang sifatnya reaktif. Yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah bersedia turun ke bawah, mendengar dan menyaksikan langsung berbagai problem yang mereka alami sehari-hari dan mengembangkan pendekatan yang disebut Robert Chambers (1987) sebagai pendekatan learning from the people, yakni pendekatan yang menempatkan masyarakat miskin benar-benar sebagai subyek pembangunan.

Dengan demikian, tugas pemerintah adalah bersedia mendengar apa sebetulnya yang dibutuhkan masyarakat miskin, dan sekaligus belajar dari masyarakat miskin tentang cara yang paling efektif dan kontekstual untuk memberdayakan taraf kehidupan dan meningkatkan posisi tawar mereka.

Berdebat apakah pilihan kosakata ”pemerintah telah berbohong” itu terlalu keras dan cenderung provokatif, mungkin perlu dilakukan dalam rangka menumbuhkan etika berdemokrasi dan untuk menghindari kekeliruan dalam proses penyampaian pesan.

Akan tetapi, alangkah lebih arif jika kritik sekeras apa pun tidak lantas disikapi dengan reaktif, tetapi justru diperlakukan sebagai masukan yang berharga untuk memperbaiki dan memastikan agar program-program pembangunan yang disusun pemerintah lebih bisa dijamin efektivitas dan implementasinya di lapangan.

Angka statistik dan kehidupan nyata, bagaimanapun, adalah dua hal yang berbeda. Bagi masyarakat miskin, apa yang mereka butuhkan adalah bagaimana pemerintah bisa segera menerjemahkan angka-angka statistik yang makro itu dalam kehidupan nyata secara berkeadilan.

Bagong Suyanto Dosen Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial di Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gerakan Tanah (Longsoran)

SEMAR

TATA RUANG BERBASIS PADA KESESUAIAN LAHAN