Pahlawan Australia Dikurung di Cililitan

KISAH PERANG DUNIA II
Pahlawan Australia Dikurung di Cililitan
KOMPAS - Sabtu, 22 Januari 2011 | 03:23 WIB

Tak jauh dari hiruk-pikuk bekas Terminal Bus Cililitan, Jakarta Timur, berdiri sebuah kompleks militer milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Tak dinyana, lokasi itu adalah bekas kamp tawanan perang atau prisoner of war Sekutu yang disekap Jepang semasa Perang Dunia II melanda Asia Pasifik.

Tempat yang berada di sisi selatan Jalan Cililitan Besar itu dikenal sebagai Kamp Kampong Makassar, kini disebut Kampung Makassar, semasa kurun 1942-1945. Sebelum Jepang menyerbu Jawa, lahan itu merupakan asrama polisi (Veldpolitie Kamp) yang dikelilingi kebun.

Dalam peta yang didapat di Perpustakaan Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis digambarkan sekeliling kamp terdapat pohon kelapa (klapperbomen). Lokasi kamp disebutkan berada enam kilometer dari pusat Kota Batavia. Kamp ini diberi nama oleh militer Jepang sebagai Bunsho I Kamp 9.

Kamp Kampong Makassar disebut sebagai salah satu kamp tawanan perang yang paling primitif fasilitasnya. Tawanan tinggal dalam barak-barak yang dibangun dari batang bambu, potongan kayu, dan atap sirap dengan dinding bambu (gedek). Sekeliling kamp dibatasi dengan pagar kawat berduri dan ditutup gedek.

Kamp itu menampung tawanan perang mulai dari personel militer Sekutu pada masa awal pendudukan Jepang hingga warga sipil (burgers, bahasa Belanda), yakni para perempuan dan anak, saat menjelang kekalahan Jepang.

Pahlawan kemanusiaan

Salah satu tokoh penting yang pernah ditahan di Kamp Kampong Makassar adalah pahlawan Perang Dunia asal Australia, Letnan Kolonel Edward Ernest ”Weary” Dunlop, yang seorang dokter ahli bedah militer asal Kota Melbourne, Negara Bagian Victoria. Weary Dunlop, yang semasa Perang Dunia II mendapat promosi sebagai Kolonel dalam Australia Imperial Forces, mengawali karier di Hindia Belanda sebagai Kepala Rumah Sakit Sekutu di Bandung, di bangunan yang kini menjadi SMA Kristen (SMAK) Dago di Jalan Dago. Ketika itu, dibentuk Komando ABDA (America, British, Dutch and Australia) yang bermarkas di Bandung.

Dunlop dalam The War Diaries of Weary Dunlop mencatat, dirinya berangkat dari Suez di Mesir pada 30 Januari 1942 dengan meninggalkan Beit Jirga. Rombongan pasukan Australia tiba di Oosthaven, kini Teluk Betung dan Tanjung Karang, di Lampung pada 15 Februari 1942. Ketika itu, Singapura sudah jatuh ke tangan Jepang. Rombongan pun meninggalkan Sumatera karena terdesak serangan Jepang. Mereka tiba di Tanjung Priok di Batavia, sekarang Jakarta, tanggal 17 Februari 1942.

Di Bandung, Dunlop bertugas di bawah Markas Besar Inggris di Jawa yang dipimpin Mayor Jenderal Sitwell dan Angkatan Udara Kerajaan (RAF) pimpinan Marsekal Muda Maltby. Maltby adalah pahlawan yang mempertahankan Pulau Malta dari serangan Jerman dan Italia.

Weary Dunlop memimpin 206 anggota staf rumah sakit militer, termasuk 23 perwira di SMAK Dago. RS itu menangani 1.351 pasien sakit dan terluka. Sebagian besar adalah prajurit Inggris dan Australia. Angka kematian tercatat sembilan orang meninggal pada akhir Februari 1942.

Pihak RS Sekutu sudah mendengar adanya pemerkosaan dan pembantaian yang dilakukan militer Jepang yang menyerbu RS Aleksandra di Singapura. Meski demikian, mereka tetap bertahan dan tidak ikut dalam evakuasi ke Sri Lanka dan Australia menjelang jatuhnya Pulau Jawa ke tangan Jepang.

Pada tanggal 4-5 Maret, jumlah pasien meningkat tajam di RS Sekutu. Mereka adalah korban pertempuran di Leuwiliang yang berusaha menahan gerak laju pasukan Jepang yang merangsek dari arah Banten.

Demi prajurit

Setelah militer Hindia Belanda menyerah pada 8 Maret 1942, RS Sekutu tetap beroperasi hingga tanggal 18 April 1942. Weary Dunlop tanggal 17 April nyaris dibunuh karena memasang badan melindungi pasien, Bill Griffiths, yang buta terkena serpihan peluru dan hancur kedua tanggannya, saat hendak dibayonet prajurit Jepang.

Berulang kali Weary Dunlop melindungi pasien dan anak buahnya di Kamp Tawanan Jepang di Bandung, Batavia, hingga saat pembangunan rel kereta api maut di Thailand. Karena keberaniannya itu, Weary Dunlop dikenang sebagai pahlawan di Australia dan negara Sekutu.

Setelah ditahan di Penjara Bandung, pada 6 November 1942 Weary Dunlop dan para tawanan Sekutu dipindahkan ke Kamp Kampong Makassar. Mereka, sekitar 1.000 prajurit dan 54 perwira, diberangkatkan dengan kereta api pukul 07.40 dan tiba di Meester Cornelis (Stasiun Jatinegara) pukul 15.20. Mereka pun digiring dengan berjalan kaki ke arah Cililitan dari arah Jalan Otto Iskandar Dinata.

Setiap tawanan diberi ruangan selebar satu meter untuk tinggal di bawah barak beratap rumbia dan berdinding bambu itu. Mereka tinggal hingga tanggal 3 Januari 1943, sebelum diperintahkan pindah ke Tanjung Priok lalu diberangkatkan ke Singapura. Dari Singapura, rombongan diberangkatkan menuju perbatasan Thailand-Burma untuk membangun jalur kereta api maut.

Catatan yang didapat dari Erasmus Huis menyebutkan, komandan tawanan perang adalah Kolonel EE Dunlop. Dunlop setelah perang membangun persaudaraan erat dengan masyarakat Thailand dan mempromosikan rekonsiliasi. Dunlop diberi gelar Sir dan sederet anugerah kehormatan, CMG, OBE, KSJ, MS, FRCS, FRACS, FACS, D.Sc. Punjabi (Hon).

”Dunlop merupakan tokoh yang penting tidak hanya bagi Australia. Napak tilas perjalanannya di Jawa sangat menarik sekali,” kata kurator pameran Shrine of Remembrance, Neil Patrick Sharkey.

Hari ini, sebuah patung berdiri di seberang Victoria Barrack dan Shrine of Remembrance di Melbourne. Patung seorang pria jangkung yang murah senyum dan di kantung jasnya terselip korsase bunga Poppy merah. Dialah ”Weary” Dunlop yang pada satu masa pernah disekap Jepang di sudut Cililitan, Jakarta Timur. (Iwan Santosa)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gerakan Tanah (Longsoran)

SEMAR

TATA RUANG BERBASIS PADA KESESUAIAN LAHAN