Cita-cita yang Kian Menjauh

TAJUK RENCANA
KOMPAS - Rabu, 19 Januari 2011 | 04:04 WIB

Cita-cita yang Kian Menjauh

Cita-cita reformasi tahun 1998 untuk menciptakan Indonesia yang bersih terasa kian menjauh. Data Menteri Dalam Negeri membuat kita prihatin!

Adanya 155 pejabat—17 di antaranya gubernur—tersangkut kasus hukum mengejutkan kita! Lalu, apa artinya reformasi tahun 1998? Apa makna jargon dan kampanye antikorupsi kalau toh hampir separuh pemimpin daerah dari 33 provinsi tersangkut kasus korupsi?

Orde Baru yang dituding korup telah berakhir! Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 yang berintikan semangat baru bangsa menciptakan pemerintahan yang bersih serta bebas korupsi dan kolusi dilahirkan melalui perjuangan keras mahasiswa. Pemerintahan otoriter telah digantikan demokrasi multipartai dan sistem pemilihan langsung.

Kini, reformasi telah berjalan 13 tahun! Namun, cita-cita reformasi menciptakan Indonesia yang bebas korupsi tetaplah menjadi cita-cita dan kini mulai dipertanyakan keseriusannya. Seriuskah bangsa ini memberantas korupsi? Benarkah sistem politik kita sesuai dengan tekad bangsa memberantas korupsi? Betulkah perilaku elite ikut mendorong pemberantasan korupsi?

Sebenarnya Indonesia tak kekurangan pemimpin yang berkomitmen menciptakan pemerintahan yang bersih. Mendagri Gamawan Fauzi, saat menjabat sebagai Bupati Solok, termasuk pemimpin yang punya komitmen untuk pemerintahan bersih. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani, salah satu di antara wali kota yang mencoba menciptakan pemerintahan bersih. Namun, sebagaimana diberitakan harian ini, ia harus menghadapi gempuran DPRD.

Komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberantas korupsi juga tidaklah kurang. Setidaknya, itu bisa dilihat dari pernyataan Presiden yang beberapa kali menyatakan akan memimpin sendiri pemberantasan korupsi di negeri ini. Namun, fakta yang dipaparkan Mendagri menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak cukup dipidatokan. Ia membutuhkan aksi nyata, tindakan konkret, dan komitmen penuh. Pemberantasan korupsi juga menuntut sikap masyarakat yang tidak lagi permisif terhadap koruptor.

Di Indonesia, seorang bupati yang baru keluar dari penjara setelah menjalani hukuman dielu-elukan pendukungnya. Inilah anomali Indonesia ketika pejabat terjerat korupsi hanya dikonstruksikan sebagai apes atau sedang sial! Mereka tetap punya status sosial tinggi. Sikap masyarakat ini ikut mendukung banalisasi korupsi.

Tentunya kita tak ingin sistem politik demokrasi dituding tak membawa perbaikan dalam penciptaan pemerintahan bersih. Kita ingin mengutip Oscar Arias Sanchez, penerima Nobel dari Kosta Rika, bahwa skandal korupsi yang terus berkepanjangan hanya akan membuat rakyat frustrasi dan bisa menciptakan kelumpuhan demokrasi. Karena itu kita berharap, empat tahun ke depan, Presiden Yudhoyono memperteguh komitmennya untuk memimpin sendiri pemberantasan korupsi negeri ini!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gerakan Tanah (Longsoran)

PETRUK

SEMAR