ALIH FUNGSI LAWANG SEWU

Gedung Lawang Sewu dibangun secara bertahap sejak tahun 1908 (lihat buku Dokumen Konservasi Bangunan dan Lingkungan, Bappeda kota Semarang, 1988), artinya sampai dengan tahun 2008 ini gedung tersebut sudah berusia 100 tahun. Pada tahun 1920 bangunan tersebut digunakan sebagai kantor pusat Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij yang merupakan salah satu dari kantor-kantor modern pertama yang didirikan di Indonesia. Perencananya adalah Klinkkamer dan Quendaag dari Belanda, dengan gaya neoklasik yang dibuat agak berbeda dari jamannya.
Gedung ini menjadi saksi bisu ketika meletus perang ’Lima Hari’ di Semarang, di mana lokasi sekitar Tugu Muda menjadi ajang pertempuran pada saat itu. Setelah jaman kemerdekaan RI, fungsinya diambil alih oleh Angkatan Darat, digunakan sebagai Kantor Badan Prasarana KODAM IV Diponegoro. Namun secara administrasi milik PT. Kereta Api (dulu PJKA). Setelah markas KODAM pindah ke Watu Gong, gedung ini kembali dikelola oleh PT. Kereta Api, dan sering digunakan untuk ajang kegiatan pameran.
Karena banyaknya pintu yang terlihat dari luar bangunan, maka masyarakat menyebutnya dengan gedung ’Lawang Sewu’. Ada cerita menarik di gedung ini, disamping yang sudah terkenal dengan ke-angker-annya, ternyata juga menyimpan cerita lain, yaitu ketika gedung ini akan diperbaiki dengan cara menghilangkan atau mengurangi satu pintunya, para kondektur bus protes ke Walikota saat itu, mereka tidak setuju sebab akan menyulitkan bagi kondektur untuk menawarkan tujuan kepada calon penumpang, yang tadinya bisa berteriak....”lawang sewu, lawang sewu...akan berubah menjadi....”lawang sangang atus sangang puluh songo...”. Meskipun itu hanya sekedar guyonan saja, tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa Lawang Sewu sudah menjadi milik masyarakat.
Kalau tidak salah, Lawang Sewu ini masih terdaftar sebagai salah satu ba­ngunan kuno/bersejarah yang tertuang dalam Surat Keputusan Wali Kota No 646/50/­1992 dengan kategori A, dan termasuk da­lam daftar inventaris Kanwil De­partemen Pendidikan dan Kebu­dayaan Provinsi Jawa Tengah de­ngan nomer 01.12.354 (sekarang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng).
Dalam berita akhir-akhir ini terdengar kabar bahwa Lawang Sewu akan djadikan hotel. Alih fungsi Lawang Sewu menjadi hotel heritage atau warisan budaya ini harus dipandang sebagai gagasan yang positif. Hal itu selaras dengan pe­ngertian konservasi (pelestarian), yaitu suatu proses pemeliharaan untuk mempertahankan mak­na budaya yang dikandungnya me­lalui perawatan dan preservasi, restorasi, rekonstruksi, dan adaptasi (The Burra Charter, 1981). Pendau­r ulangan bangunan juga sesuai de­ngan hakikat pelestarian sumber daya alam. Namun, kita tidak boleh melu­pakan adanya rambu-rambu yang harus dipatuhi dalam pelaksanaan rehabilitasi dalam rangka pelestarian bangunan bersejarah dengan model alih fungsi (adaptasi). Undang-Undang No 5/1992 ten­tang Benda Cagar Budaya (UUCB), Peraturan Pemerintah No 10/1993 tentang Pelaksanaan Undang-Un­dang No 5/1992 tersebut, dan SKWK 646 (kalau masih berlaku), merupakan perangkat yang tak boleh dilewatkan begitu saja dalam perencanaan di bangunan bersejarah ini.
Lokasi Lawang Sewu di kawasan Tugu Muda, me­mang sangat bagus, terlebih dengan daya dukung yang dimiliki. Apabila rencana hotel terealisasi, maka keberadaannya diuntungkan oleh kawasan kota yang sudah jadi. Posisinya bersebelahan persis dengan tempat belanja DP Mal dan berdekatan pula dengan ’Pusat Oleh-Oleh’ di Jalan Pandanaran. Lokasi Lawang Sewu pun masuk sebagai kawasan pusat bisnis utama Semarang. Akses ke stasiun dan ke bandara juga terbilang dekat.
Tetapi dalam rangka menghar­gai dan mematuhi peraturan dan per­undangan yang telah disusun, dalam SKWK 646 menyatakan bahwa bangun­an yang termasuk dalam klasifikasi A adalah bangunan-bangunan berse­jarah atau bangunan yang sangat tinggi nilai arsitekturnya. Bangunan - ­bangunan tersebut tidak boleh dita­mbah, diubah, dibongkar, atau dibangun baru.
Gedung Lawang Sewu, bersa­ma-sama dengan 17 bangunan lain - seperti Gereja Blenduk, Wisma Perdamaian (dulu APDN), SMA 1, Stasiun Tawang, dan Tugu Muda, masuk dalam kelom­pok tersebut.
Kita semua pasti yakin bahwa bangunan Lawang Sewu tidak akan dibongkar, tetapi yang namanya alih fungsi, apalagi dari bangunan bekas kantor menjadi hotel pasti akan terjadi penambahan dan pengurangan serta pengaturan di sana-sini. Dalam pengertian yang terdapat pada pasal 1 ayat 2 UUCB, tapak atau lokasi seluruh bangunan gedung Lawang Sewu meru­pakan situs yang tidak boleh dirusak. Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan, situs ialah lo­kasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya, termasuk lingkungannya yang diper­lukan bagi pengamanannya. Peraturan Pemerintah 10/1993 tentang Pelaksanaan Undang-Un­dang No 5/1992 mengatur lebih lanjut ten­tang hal itu, pasal 23 menyiratkan tentang adanya peluang untuk mela­kukan sesuatu, sembari melindungi benda cagar budaya. Ayat 2 menye­butkan, dalam rangka melindungi benda cagar budaya, perlu diatur batas-batas situs dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan. Ayat berikutnya menyebutkan, batas-batas tersebut ditetapkan de­ngan sistem pemintakatan, yang ter­diri atas mintakat inti, penyangga, dan pengembangan. Nah sesuai dengan informasi yang ada dalam pemberitaan media, perkembangan saat ini, draft nota kesepahaman antara PT Kereta Api (KA) selaku pemilik dengan calon investor PT Griya Inti Sejahtera Insani (GISI) sedang diajukan kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN), dan Walikota akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu memperlancar proses perijinan dan sejenisnya.
Pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab, sudahkah dilakukan penelitian terhadap kondisi nyata bangunan bersejarah tersebut? Penelitian ini ten­tu saja tidak cukup hanya melulu mendokumen­tasi dan mengidentifikasi gaya ba­ngunan, tapi harus lebih men­garah pada penelitian arkeologis dan kesejarahan, yang dilakukan oleh tim independen yang berkompeten. Mau tidak mau, proses perencanaan yang akan digunakan pastilah dengan pendekatan alih fungsi (dari kantor menjadi hotel). Alih fungsi adalah pengalihan penggunaan ba­ngunan dengan perubahan-perubah­an yang diperlukan. Proses ini adalah salah satu cara yang da­pat dibenarkan dalam pelestarian ba­ngunan bersejarah. Setelah melalui peneli­tian arkeologis dan kajian dalam disiplin ilmu yang terkait, serta berbagai negosiasi, akhirnya akan diputuskan bentuk rehabilitasi dan perubah­an yang terjadi terhadap bangunan bersejarah ini yang dapat ditoleransi.
Ada kriteria yang harus dipenuhi untuk mewujudkan gagasan baru di lokasi bersejarah, yaitu integritas arsitektural. Integritas disini adalah kejelasan makna dan nilai dari bangunan dan tapak secara keseluruhan. Ada beberapa atribut yang dapat menciptakan integritas arsitektural, yaitu bentuk atau langgam, kekriyaan, bahan, tipe dan fungsi bangunan, lokasi, dan kesinambungan. Dari sekian atribut itu paling-paling hanya beberapa yang masih dapat dipertahankan, mengingat alih fungsi yang sangat kontras yaitu dari kantor menjadi hotel. Kemungkinan besar yang masih bisa dipertahankan adalah integritas langgam, kekriyaan, dan lokasi. Perencana dan pelaksana pembangunan harus benar-benar faham akan hal tersebut. Integritas lokasi menjadi sangat dominan karena menyangkut masalah lingkungan sekitar bangunan atau yang lebih dikenal sebagai setting. Munculnya bangunan baru harus menyesuaikan setting yang sudah terbentuk, jangan sampai unsur baru atau tambahan bangunan baru justru merusak setting yang sudah ada. Perlu pengaturan semacam penempatan posisi latar depan dan latar belakang dalam sebuah setting, unsur-unsur baru ditarik menjadi latar belakang agar tidak merusak facade yang sudah memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi, dan pengaturan mintakat situs yang jelas mengingat lokasi sekitar Lawang Sewu sudah berkembang pesat.

PARFI KHADIYANTO
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota - FT UNDIP
(sudah dimuat di KOMPAS Jateng, 22 feb 2008)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gerakan Tanah (Longsoran)

SEMAR

TATA RUANG BERBASIS PADA KESESUAIAN LAHAN