MENSIKAPI PERDA RTH KOTA SEMARANG

Ketika manusia mulai bertambah banyak, bumi terasa sesak, pepohonan pun mulai terdesak, dan saat itulah tanah mulai tandus, sebab kota berubah menjadi belantara beton, maka hadirnya pepohonan mulai dirindukan kembali. Seiring dengan bertambahnya jumlah manusia di perkotaan membuat lahan tersisa yang bisa ditanami menjadi semakin sedikit. Setiap jengkal tanah di kota lantas menjadi rebutan setiap orang untuk ditempati dan diubah menjadi bangunan. Orang berebut lahan dengan melakukan tebang sana dan tebang sini, habisnya tanaman tidak jadi masalah, yang penting punya tanah.
Sebenarnya setiap orang tahu bahwa pohon mempunyai manfaat yang banyak, yaitu manfaat estetika, manfaat orologis (mengurangi kerusakan tanah), manfaat hidrologis, manfaat klimatologis, manfaat edaphis (bermanfaat untuk kehidupan satwa), manfaat protektif (pelindung terik matahari), manfaat hygienis (menyaring debu dan menghasilkan oksigen), dan manfaat edukatif (sebagai laboratorium alam), tetapi masih saja mereka mengabaikan keberadaan pohon, asal masih ada orang yang mau nanam pohon, maka hilangnya pohon di rumahku tidak menjadi masalah.
Dengan lahirnya Perda tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Semarang yang pada dasarnya mengatur sejumlah hal penting terkait dengan Ruang Terbuka Hijau, pastilah akan membawa dampak positif di kota Semarang. Perda tersebut antara lain mengatur luasan dan jumlah pohon minimal yang harus dimiliki oleh rumah tangga, Rukun Tetangga, sampai dengan di tingkat kelurahan. RTH ini penting mengingat bahwa dari 16 kecamatan yang ada di Semarang ternyata ada 8 kecamatan yang kepemilikan RTHnya kurang dari 30% luas wilayah (Suara Merdeka, 27 Nop 2008).
Pemerintah kota Semarang dalam mensikapi UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang yang mewajibkan luasan RTH minimal seluas 30%, dilakukan dengan pendekatan melalui keberadaan RTH yang dimiliki oleh masing-masing kecamatan, logikanya kalau tiap kecamatan sudah memenuhi luasan minimal, maka dalam satu kota pasti luasan minimal yang dipersyaratkan akan terpenuhi juga. Hal ini tidak salah, hanya saja perlu diketahui bahwa pertumbuhan penduduk dan kepadatan penduduk di tiap kecamatan berbeda, sehingga luasan lahan yang bisa digunakan untuk RTH di masing-masing kecamatan juga berbeda. Secara keseluruhan sebenarnya luas RTH di kota Semarang adalah 52,31% yaitu berada pada posisi yang aman sebab diatas 30% dari yang disyaratkan, hanya saja persebarannya tidak merata (Suara Merdeka, 27 Nop 2008). Dengan Perda ini diharapkan agar ada perjuangan dari masing-masing kecamatan untuk memenuhi ketentuan yang tertuang dalam UU No 26/2007 tersebut sehingga akhirnya persebaran RTH bisa lebih merata.
Perda mengatur secara rinci dengan ketentuan antara lain: setiap Rukun Tetangga (RT) wajib memiliki taman minimal seluas 250m2 dengan 10 pohon pelindung; Luas taman di tingkat RW minimal 1.500m2 dengan 20 pohon; Taman tingkat kelurahan minimal seluas 1 hektar; Rumah dengan luas kapling di bawah 120 m2 minimal menyediakan 1 pohon pelindung; Rumah dengan tanah 120-500m2 harus menyediakan minimal 3 pohon, dan di atas 500m2 minimal 5 pohon. Bayangkan, kalau suatu daerah yang sudah padat permukiman, masihkah di wilayah RT atau RW tersebut memiliki lahan seluas itu? Biasanya batas RT dan RW didasarkan pada jalan lingkungan atau batas rumah dengan ketentuan kedekatan hubungan antar tetangga, untuk RT jumlah KK paling tidak sebanyak 20 KK, untuk RW paling tidak punya 5 RT. Dengan adanya Perda ini penduduk akan memanfaatkan pinggiran jalan untuk dijadikan “taman lingkungan” baik RT maupun RW, untuk daerah padat dengan jalan yang sempit, jalan lingkungan biasanya sudah menjadi milik pribadi, menjadi tempat untuk jemuran, menjadi tempat untuk bercengkerama/duduk, dsb. Daerah seperti ini RTHnya akan ditempatkan dimana? Lahan seluas 250 m2 (ketentuan minimal luas taman RT) kalau dibagi 20 KK, maka per KK punya beban seluas 12,5m2 yang sudah pasti akan diletakan di pinggir jalan depan rumah, seandainya lebar kapling masing-masing rumah 6m, maka kebutuhan taman RT di pinggir jalan depan masing-masing rumah paling tidak selebar 2m, kalau lebar jalan hanya 3m, maka daerah yang bisa dimanfaatkan untuk jalan tinggal 1m, apa mungkin?
Tujuan Perda adalah baik, perlu didukung, meskipun begitu mungkin perlu ada kejelasan-kejelasan yang lebih detail lagi untuk wilayah-wilayah yang sudah padat. Sebab RT dan RW (Rukun Warga) bukan institusi yang struktural dan tidak memiliki wilayah yang didukung dengan kelengkapan infrastruktur pemberian Pemkot, biasanya warga secara swadaya mengatur dan mengadakan sendiri infrastruktur lingkungannya. Disinilah pentingnya sebuah perencanaan lingkungan dengan melibatkan masyarakat, Pemkot menetapkan Perda ini sudah dibahas dengan Wakil Rakyat, tetapi akan lebih baik apabila para ketua RT dan RW juga diajak bicara untuk memberi masukan agar Perda ini dilapangan benar-benar bisa dilaksanakan. Wakil RT dan RW dipilih yang bisa mewakili daerah-daerah yang padat, yang guyub, yang individualis, yang banjir, yang berlereng, dsb, sehingga wajah masyarakat Semarang terwakili dalam pembahasan tersebut. Mestinya Perda bukan lagi sekedar alat kelengkapan administrasi kota, hanya sekedar untuk menunjukkan bahwa Kota Semarang sudah punya. Seharusnya dipikirkan agar implementasi dari ketetapan Perda tersebut bisa direalisir di lapangan, sehingga Perda bukan hanya hiasan kelengkapan produk hukum. Karena Perda sudah jadi, maka langkah berikutnya, Pemkot perlu segera mensosialisasikan Perda tersebut ke RT dan RW, jangan hanya berhenti di kelurahan, adakan dialog intensif dengan warga RT dan RW, sehingga tujuan Perda untuk menjadikan Semarang Kota Hijau, Semarang Kota Sejuk benar-benar bisa terealisir, semoga.

Ir. PARFI KHADIYANTO, MS.
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota,
FT UNDIP

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gerakan Tanah (Longsoran)

PETRUK

SEMAR