Pentingnya Analisis Kesesuaian Lahan
Kota Semarang memiliki bentang lahan yang cukup menarik, yaitu sebuah kota dengan lahan yang sangat variatif, ada daerah pantai, ada dataran luas dengan ketinggian sekitar 5 – 10 m di atas permukaan laut membentang dari bagian tengah kota ke bagian timur kota, kemudian perbukitan atau dataran tinggi sampai 300 m di atas permukaan laut di sisi selatan kota. Menurut klasifikasi Pannekoek (1949), Semarang terletak diujung timur zone utara Jawa Tengah. Wilayah bagian selatan terdiri atas perbukitan dan kaki volkan Ungaran, sedangkan di bagian utara berupa dataran aluvial dengan medan yang landai, bahkan yang terletak di tepi pantai, yaitu dataran aluvial pantai, medannya hampir-hampir datar dengan ketinggian hanya 0 – 5 meter di atas permukaan laut. Letak yang demikian berpengaruh terhadap proses pengendapan dan pengatusan, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap peristiwa banjir, kota Semarang bagian utara menjadi langganan banjir tetap baik yang berasal dari hujan lokal, maupun naiknya air laut yang sering disebut sebagai banjir rob. Kondisi tersebut ternyata juga berpengaruh terhadap pola sebaran permukimannya. Pada awalnya, permukiman mengelompok di sekitar Bubakan, kemudian melebar ke timur yang kondisinya relatif datar, karena di lahan-lahan yang datar ternyata pada kemudian hari timbul masalah munculnya genangan (banjir), orang Semarang kemudian mencari tempat yang lebih tinggi yaitu bermukim ke arah selatan, mencari celah-celah lahan datar dalam satuan bentang lahan yang miring. Karena bertambahnya daya tarik kota Semarang, maka berjubel pulalah penduduk memadati kota Semarang, akhirnya lahan-lahan yang sebenarnya kurang layak untuk dihuni terpaksa didirikan bangunan di tempat tersebut.
Mula-mula, mereka yang menghuni lahan miring tidak mengalami gangguan apa-apa, tidak merasakan adanya gerakan tanah, tidak pernah terjadi longsor, sebab proporsi luas bangunan dengan luas lahan yang dipakai untuk mendirikan bangunan masih ideal, tanah masih mampu menopang keberadaan aktivitas permukiman di atasnya, tetapi ketika terjadi kejenuhan yaitu sudah tidak ada lagi lahan yang aman untuk dihuni, orang terpaksa memanfaatkan sisa lahan yang kurang aman dengan bantuan teknologi sederhana berupa pemasangan talud, yang juga dengan konstruksi seadanya, berdirilah banyak bangunan di tepi tebing-tebing curam yang yang rawan terhadap bencana. Lahan seperti ini mestinya masuk kategori lahan dengan fungsi lindung. Dalam Keppres nomor 32 tahun 1990 disebutkan bahwa kawasan rawan bencana adalah masuk dalam kategori kawasan lindung. Kalau ternyata pada awalnya sebelum dirusak dan diubah bentuk bentang lahannya oleh masyarakat, lahan tersebut bukan merupakan kawasan rawan bencana, kita mestinya tetap harus berhati-hati ketika menempati suatu kawasan yang punya kemiringan lereng cukup curam, sebab dalam Keppres tersebut dinyatakan antara lain bahwa lahan yang seluruh bentangnya mempunyai kemiringan lereng lebih besar dari 45% ( yaitu sekitar 22,50 ), maka lahan tersebut harus ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung. Nah kalau kita amati, daerah-daerah yang rawan longsor di kota Semarang ini mayoritas memiliki kemiringan lereng lebih besar daripada 22,50, mestinya lahan tersebut harus ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung, tetapi apa daya, penetapan yang datangnya belakangan pasti akan menimbulkan dampak yang lebih dahsyat, apalagi kalau penetapan ini menimpa masyarakat dalam jumlah yang besar dengan kondisi ekonomi yang tidak mampu, ibarat makan buah simalakama, ditetapkan sebagai kawasan lindung, susah, tak ditetapkan, juga susah. Yang penting sekarang adalah solusinya.
Tanah longsor akan berubah menjadi rumah longsor, karena di atas tanah tersebut sudah berdiri rumah, biasanya longsornya tanah karena tanah tersebut tidak kuat menerima beban, baik beban bangunan maupun beban air yang meresap ke dalam tanah. Jadi solusi pertama adalah, mengatur jaringan drainase dengan baik pada daerah-daerah rawan longsor yang sudah terlanjur menjadi kawasan permukiman, kedua melakukan monitoring secara menerus untuk mengetahui perubahan bentuk lahan sekecil apapun, sehingga dapat diantisipasi secara dini, ketiga membatasi pertambahan kepadatan bangunan dan perubahan konstruksi yang mengarah ke pergerakan tanah yang dapat mengakibatkan longsor, ke-empat, ini yang paling penting adalah mengantisipasi kawasan-kawasan lainnya yang belum terjamah oleh pembangunan, khususnya pada wilayah perbukitan di kota Semarang bagian selatan dengan cara melakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman. Setelah ditetapkan tentu saja harus ada keberanian dan ketegasan untuk mentaati kesepakatn tersebut, mencegah akan lebih murah daripada mengobati.
PARFI KHADIYANTO
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, FT UNDIP
Mula-mula, mereka yang menghuni lahan miring tidak mengalami gangguan apa-apa, tidak merasakan adanya gerakan tanah, tidak pernah terjadi longsor, sebab proporsi luas bangunan dengan luas lahan yang dipakai untuk mendirikan bangunan masih ideal, tanah masih mampu menopang keberadaan aktivitas permukiman di atasnya, tetapi ketika terjadi kejenuhan yaitu sudah tidak ada lagi lahan yang aman untuk dihuni, orang terpaksa memanfaatkan sisa lahan yang kurang aman dengan bantuan teknologi sederhana berupa pemasangan talud, yang juga dengan konstruksi seadanya, berdirilah banyak bangunan di tepi tebing-tebing curam yang yang rawan terhadap bencana. Lahan seperti ini mestinya masuk kategori lahan dengan fungsi lindung. Dalam Keppres nomor 32 tahun 1990 disebutkan bahwa kawasan rawan bencana adalah masuk dalam kategori kawasan lindung. Kalau ternyata pada awalnya sebelum dirusak dan diubah bentuk bentang lahannya oleh masyarakat, lahan tersebut bukan merupakan kawasan rawan bencana, kita mestinya tetap harus berhati-hati ketika menempati suatu kawasan yang punya kemiringan lereng cukup curam, sebab dalam Keppres tersebut dinyatakan antara lain bahwa lahan yang seluruh bentangnya mempunyai kemiringan lereng lebih besar dari 45% ( yaitu sekitar 22,50 ), maka lahan tersebut harus ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung. Nah kalau kita amati, daerah-daerah yang rawan longsor di kota Semarang ini mayoritas memiliki kemiringan lereng lebih besar daripada 22,50, mestinya lahan tersebut harus ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung, tetapi apa daya, penetapan yang datangnya belakangan pasti akan menimbulkan dampak yang lebih dahsyat, apalagi kalau penetapan ini menimpa masyarakat dalam jumlah yang besar dengan kondisi ekonomi yang tidak mampu, ibarat makan buah simalakama, ditetapkan sebagai kawasan lindung, susah, tak ditetapkan, juga susah. Yang penting sekarang adalah solusinya.
Tanah longsor akan berubah menjadi rumah longsor, karena di atas tanah tersebut sudah berdiri rumah, biasanya longsornya tanah karena tanah tersebut tidak kuat menerima beban, baik beban bangunan maupun beban air yang meresap ke dalam tanah. Jadi solusi pertama adalah, mengatur jaringan drainase dengan baik pada daerah-daerah rawan longsor yang sudah terlanjur menjadi kawasan permukiman, kedua melakukan monitoring secara menerus untuk mengetahui perubahan bentuk lahan sekecil apapun, sehingga dapat diantisipasi secara dini, ketiga membatasi pertambahan kepadatan bangunan dan perubahan konstruksi yang mengarah ke pergerakan tanah yang dapat mengakibatkan longsor, ke-empat, ini yang paling penting adalah mengantisipasi kawasan-kawasan lainnya yang belum terjamah oleh pembangunan, khususnya pada wilayah perbukitan di kota Semarang bagian selatan dengan cara melakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman. Setelah ditetapkan tentu saja harus ada keberanian dan ketegasan untuk mentaati kesepakatn tersebut, mencegah akan lebih murah daripada mengobati.
PARFI KHADIYANTO
Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, FT UNDIP
Komentar
terimakasih banyak atas tips n trik dalam menjawab tes2 wawancaranya papa