KULIAH SUBUH AHAD PAGI DI BAITUL ATIQ
Seperti biasa, setiap Ahad pagi di Musholla Baitul Atiq diselenggarakan kuliah subuh, kebetulan pada Ahad tanggal 30 Nopember 2008 yang mengisi adalah Ustadz Khoirrudin (Ustadz Didin). Beliau menerangkan tentang makna yang terkandung pada awal-awal surat Al Mu’minun (orang-orang yang beriman)
1. Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman
2. Yaitu orang-orang yang khusuk sholatnya
3. Dan orang-orang yang menghindari perbuatan yang tiada bermanfaat
4. Dan orang-orang yang menunaikan zakat
Pagi itu hanya menjelaskan sampai 4 ayat tersebut, sebab memang tidak berkeinginan untuk merampungkan banyak ayat, tetapi berprinsip pada sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Itu sudah menjadi kesepakatan para jamaah sholat subuh, agar tidak jemu.
Pada saat menjelaskan makna sholat yang khusuk, tidak ada masalah, semua bisa memahami dan mengerti, demikian pula ketika menjelaskan tentang menghindari perbuatan yang tidak bermanfaat.
Masalah, atau diskusi berkepanjangan yang menjurus ke beda persepsi, beda pendapat adalah ketika ustadz Didin menjelaskan cara menunaikan zakat.
Ustadz Didin mengatakan bahwa “adalah salah bagi orang yang mampu beli hewan korban dan disembelih di musholla ini senilai Rp 1jt, tetapi ternyata zakat maal (kekayaan) nya yang diserahkan di musholla ini jumlahnya kurang dari Rp 1jt, sebab zakat itu mestinya lebih diutamakan daripada berkorban”.
Diskusi atau sanggahan/pertanyaan, yang intinya menanyakan apakah salah kalau seseorang menyerahkan zakat maal (kekayaan) di tempat lain (kampung halaman sambil berlebaran, membantu teman dan saudara yang masih fakir dan miskin), tetapi menyembelih hewan kurban di musholla ini, sebab tidak lazim pada saat Idul Qurban melakukan perjalanan mudik.
Konon menurut beliau, hal tersebut tidak salah tetapi tidak ada makna perjuangannya untuk mengembangkan lingkungan terdekatnya, dianggap hanya sekedar menggugurkan kewajiban.
Saya memberanikan diri untuk bertanya, lingkungan dekat itu batasannya apa? Apakah RT, RW, Kelurahan, atau Kecamatan? Saya berpendapat bahwa, lingkungan itu adalah tempat dimana kita memiliki fungsi atau kedudukan dalam masyarakat tempat kita tinggal. Misalnya seorang walikota, maka lingkungan terdekat bagi dia adalah kota, demikian pula untuk camat, lurah, ketua RW, dan ketua RT. Nah yang menjadi masalah, kalau di kampung menjadi ketua RT seperti saya, tetapi sekaligus sebagai pengurus LPMK di kelurahan, maka menurut saya, lingkungan saya bukan cuma RT saja tetapi sudah jauh sampai ke kelurahan. Adalah logis dan wajar kalau sebagian zakat, saya serahkan ke musholla RT dan sebagian ke masjid (dalam cakupan pelayanan) kelurahan. Itu pemahaman saya. Meskipun demikian, kayaknya Ustadz Didin kurang setuju, ya monggo-monggo saja.
Nuwun sewu, kalau kita amati, sebaran zakat yang hanya pada wilayah yang sangat terbatas (seperti Baitul Atiq), kalau zakat terkumpul banyak di sini memang bisa mensejahterakan masyarakat sekitar musholla, tetapi bagaimana dengan saudara-saudara kita di kecamatan lain yang juga miskin. Orang miskin di sini (dekat Baitul Atiq) bisa berlimpah menikmati zakat, akan tetapi tegakah kita kalau pas jalan-jalan ke kota bawah dan tahu masih banyak pengemis yang hidupnya sengsara, bisakah kita bilang, salah sendiri gak mau tinggal di dekat musholla Baitul Atiq, makanya kamu nggak kebagian zakat dariku……???
Nah untuk mengatasi hal itu, terus terang (maaf) saya menyalurkan sebagian zakat ke Rumah Zakat dan Bazis yang dikelola pak Said Al Burhan, lalu sisanya saya serahkan ke Baitul Atiq, disamping tentu saja ada juga yang saya bawa ke Jogya, sebab ada teman sekolah SD saya yang hanya jadi tukang becak dan tukang pijet (mereka miskin), dan mereka ini masih selalu setia ngantar ibu saya ke pasar, atau mijeti saya kalau saya di Jogya agak lama.
Kalau Baitul Atiq mau membentuk BAZIS dengan benar, bisa jadi Baitul Atiq akan saya prioritaskan untuk penyaluran zakat saya, (sebab zakat kan ibadah wajib bagi yang sudah memenuhi syarat, sebagaimana pergi haji), saya berprinsip adalah salah kalau pengelolaan ibadah (zakat, taraweh, qurban) hanya dilaksanakan dengan prinsip “SAK KOBERE”, yaitu hanya dengan mengandalkan kebiasaan : ”kawit mbiyen yo wis ngene rak opo-opo, ora ono masalah, ngene meneh wae kan biso”, kenapa tidak ditingkatkan pelayanan di bidang pengelolaan zakat kekayaan? Salurkan untuk hal-hal yang fungsinya non konsumtif, mestinya bisa, tapi ya butuh pemikiran dan energi yang lebih serius.
Terus terang, saya selalu usul agar takmir mengadakan pertemuan rutin per 2 atau 3 bulanan, usulan ini saya sampaikan sejak saya belum jadi ketua RT, dan sampai sekarang, kepengurusan RT saya hampir habis, gak pernah usulan ini digubris. Saya kan jadi khawatir, pengelolaan ibadah mestinya tidak berprinsip pada SAK SELONE, SAK KOBERE…harus serius, kalau gak serius…weleh, weleh, weleh,….apa kata dunia?
Nuwun sewu ngih pak Ustadz Didin, sekedar ngudoroso mawon
Wallahu alam bishshowab.
Parfi Kh
Ketua RT 06/IV Gedawang _Banyumanik, SEMARANG
Komentar
badhe nderek urun rembug pak....
kalo masalah ilmu mah kulo nggih mboten begitu tahu, tapi yang saya jalankan selama ini juga sama seperti yang pak Parfi lakukan...sebagian di PKPU, sebagian di Lembaga pak Said, Sebagaian di Baitul Atiq, dll...apa itu salah.....? mohon petunjuk bagi yang tahu serta ilmu/hukum yang mendasari.....
matur nuwun
Wass. Wr. Wb.
Assalaamu'alaikum WW.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Islam mengajarkan Toleransi kepada penganut agama lain, dalam makna memberikan kebebasan dan keleluasaan penganut agama lain untuk menjalankan ibadahnya selama ibadah tersebut tidak bertentangan dengan perundangan yang berlaku di tanah air kita (QS. Al Kafirun). Kalo dengan yang beda agama, Alloh jelas-jelas memerintahkan toleransi, maka dengan sesama muslim Alloh memerintahkan menjaga Ukhuwah, persaudaraan, perbaikilah hubungan diantara kalian(QS. Al Hujurat : 10)dan tentunya harus lapang dada.
Menurut saya sudah benar yang disampaikan pak parfi dengan memberi wacana / pandangan yang lebih luas pada ustadz didin, sebagai bagian dari tawashaubil haq wa tawashaubish shabr, dengan tetap menjaga prinsip ukhuwah.
Kita menyadari bersama bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim mayoritas, tetapi belum Islamis, termasuk dalam pengelolaan Zakat, sehingga tentunya ini menjadi ruang ijtihad kaum muslimin dalam masalah pengelolaan zakat. Hukum Zakat wajib bagi yang memenuhi syarat, tetapi wilayah pengelolaan zakat, karena sampai saat ini belum ada kesatuan pengaturan oleh negara yang lebih komprehensif, maka menjadi wilayah ijtihadi kaum muslimin, yang karenanya tidak ada ruang untuk saling mengklaim sebagai yang paling benar. Tetapi menyarankan untuk maksud kemaslahatan yang lebih luas adalah hal yang bersifat boleh, meskipun tidak ada sifat memaksa.
Terkait dengan pendapat ust. Didin, saya memandang bahwa barangkali beliau khilaf dalam masalah ini, karena bagaimanapun sebagai manusia kita tidak ada yang sempurna, masih banyak banyak sekali kekurangan dibanding kelebihan kita. Karena itu kita do'akan agar Allah memberikan Taufik, Inayah dan HidayahNya pada beliau. Semoga kita semua termasuk Ust. didin tetap diberikan keluasan hati untuk saling menerima masukan untuk kebaikan bersama. Dan ubstadz didin dan ustadz ustadz yang lain di komplek kita bisa saling kerja sama untuk kemaslahatan yang lebih luas.
Demikian ust. Parfi KH yang saya cintai karena Alloh SWT, saya sangat bangga dan senang dengan gaya kocak bapak sehingga dengan potensi tersebut bapak bisa mencairkan dan mengakrabkan ukhuwah kaum muslimin di komplek yang kita cintai.
Salam sukses, semoga kita ketemu lagi nanti di darat dan di akhirat.
Jangan lupa no 8 bersih peduli profesional ... PKS
Wassalamu'alaikum WW.
Mulki