BERDO'A dan BERMUSYAWARAH




Pendidikan anak yang sukses bukan dimulai setelah anak itu lahir. Apalagi menunggunya sampai usia masuk sekolah. Dalam Islam, pendidikan anak bahkan dimulai sebelum anak itu berada di dalam rahim sang ibu. Karenanya, Rasulullah memerintahkan memilih pasangan hidup karena pertimbangan agama.

"Dengan demikian," kata Abdullah Nasih Ulwan dalam Tarbiyatul Aulad, "pendidikan anak dalam Islam harus dimulai sejak dini. Yakni dengan pernikahan ideal yang berlandaskan prinsip-prinsip yang secara tetap mempunyai pengaruh terhadap pendidikan dan pembinaan generasi."

Lalu bagaimana jika keluarga itu telah terbentuk dengan permulaan yang tidak ideal? Alih-alih membubarkannya, kita hanya perlu memperbaikinya. Masih ada waktu. Jika kita menginginkan anak-anak yang baik, jadikanlah diri kita terlebih dahulu sebagai (calon) orang tua yang baik. Jika kita merindukan anak-anak yang berbakti, jadikanlah diri kita menjadi orang tua yang pantas dihormati dan mendapatkan bakti.

Jauh sebelum Ismail lahir, Ibrahim selalu berdoa kepada Allah; bukan hanya bermunajat agar dikaruniai anak karena kini ia telah berusia tua, tetapi bermunajat agar dikarunia anak yang shalih. "Ya Rabbi...," demikian doa Ibrahim sebagaimana dicantumkan dalam QS. Ash-Shaaffaat ayat 100, "anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk orang-orang yang shalih."

"Doa adalah senjata mukmin," sabda Rasulullah SAW ribuan tahun kemudian. Maka untuk mendapatkan anak yang shalih, senjata itu harus dipakai setiap orang tua muslim. Menjadikan anak menjadi shalih berarti mengubah hati. Sedangkan penguasa hati adalah Allah. Kalau bukan Allah yang mengubahnya, kepada siapa lagi kita menyerahkan urusan yang luar biasa besar ini?

"Banyak orang tua yang berhasil mendidik anaknya bukan karena kepandaiannya mendidik anak," tutur M. Fauzil Adhim dalam Saat Berharga untuk Anak Kita, "tetapi karena doa-doa mereka yang tulus. Banyak orang tua yang caranya mendidik salah jika ditinjau dari sudut pandang psikologi, tetapi anak-anaknya tumbuh menjadi penyejuk mata yang membawa kebaikan dikarenakan amat besarnya pengharapan orang tua."

Inilah tradisi parenting Nabi Ibrahim. Ia mengajak anaknya bermusyawarah, meskipun dalam persoalan kewajiban yang diketahuinya perintah Tuhan. Kita pun kemudian terkenang dengan kalimat Ibrahim yang dikabarkan Al-Qur'an dalam bahasa yang menyentuh: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" (QS. Ash-Shaaffaat : 102).

"Ibrahim tidak mengambil anaknya dengan paksa untuk menjadikan isyarat Rabbnya itu hingga cepat selesai," tulis Sayyid Quthb dalam Fi Zhilalil Qur'an ketika menafsirkan ayat ini, "Tapi... menyampaikan hal itu kepada anaknya seperti menyampaikan sesuatu hal yang biasa."

Anak yang biasa dimintai pendapatnya, ia akan merasa dirinya penting dan berharga. Sebuah emosi positif yang sangat mendukung perkembangan kecerdasannya. Anak yang diajak bermusyawarah dan didengarkan apa keinginannya, -kalaupun kurang tepat kemudian diarahkan- akan tumbuh kepercayaan dirinya. Ia menjadi subyek, bukan obyek. Dan itulah yang dilakukan Ibrahim pada Ismail.

tulisan utama oleh Muchlisin, dikutip pada bagian2 yang dibutuhkan saja.

Komentar

Pencerah mengatakan…
Kebanyakan orang tua tidak bisa mendidik dan mengajar anak2nya Pak Parfi...
Sejak dari kecil pendidikan dan pengajaran diserahkan kepada pembantu
setelah besar diserahkan pada guru.
orang tua tinggal menunggu dan memetik hasilnya

Postingan populer dari blog ini

Gerakan Tanah (Longsoran)

PETRUK

SEMAR