PEMANASAN GLOBAL
Kota, Pemain Utama yang Mesti Berubah
KOMPAS - Senin, 13 Desember 2010 | 03:57 WIB
Oleh Brigitta Isworo L
Anda adalah warga kota besar. Berapa jumlah mobil yang Anda miliki? Bagaimana sampah rumah tangga Anda diurus? Berapa kali sebulan Anda terbang ke luar kota atau ke luar negeri demi tugas kantor atau sekadar berwisata? Bagaimana desain rumah Anda? Berapa banyak lampu di rumah dan apa jenisnya?
Mungkin tak banyak yang menyadari pertanyaan di atas amat terkait dengan kontribusi kita pada penambahan atau pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sekaligus penambahan atau pengurangan dampak perubahan iklim. Kota sebagai sebuah wilayah harus disadari juga amat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Inti persoalan tentang kaitan kota dengan perubahan iklim pada awal September lalu diuraikan oleh pakar ekonomi dan politik Philipp Rode dari London, Inggris, pada program Climate 4Media yang diadakan oleh British Council yang berkantor di Beijing, China. Program tersebut diikuti oleh sekitar 60 orang dari lebih 10 negara dengan berbagai profesi, mulai dari wartawan, dosen, peneliti, pegiat film, hingga pegiat seni peran.
Rode langsung membuka paparannya dengan foto sampul majalah Der Spiegel tahun 1986. Pada foto itu ditampilkan Katedral Cologne di kota Cologne, Jerman, yang nyaris separuh bangunannya tenggelam akibat banjir. Ingat kondisi Jakarta bulan lalu yang ”lumpuh” akibat banjir dan genangan di seluruh pelosok kota dan wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi).
Lebih banyak di kota
Panel Para Ahli tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan bahwa pemanasan global diakibatkan oleh faktor manusia (antropogenik) karena emisi GRK dari berbagai aktivitas manusia telah menjebak panas matahari yang akhirnya mengakibatkan naiknya suhu bumi.
Pada tahun 2007 untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, jumlah manusia yang tinggal di kawasan urban (kota) lebih banyak daripada mereka yang tinggal di pedesaan. Sekitar 50,6 persen penduduk dunia tinggal di kota dan 49,4 persen tinggal di pedesaan (United Nations Population Division, 2007). ”Angka itu bisa lebih besar sekarang karena melihat pertumbuhan berbagai kota, terutama di Asia,” ujar Rode. Ini masalah serius,” ucapnya lagi.
Dia mengungkapkan, ada lima hal yang menghubungkan kota dengan perubahan iklim, yaitu pertumbuhan dan kerentanan kota, pembangunan kota tidak berkelanjutan, kota bisa memelopori gaya hidup (ramah lingkungan), kota merupakan lingkungan yang progresif, dan masalah efektivitas pemerintahan kota. ”Kehidupan pemerintah kota jelas lebih dekat ke masyarakatnya dibandingkan dengan pemerintah pusat atau provinsi. Kondisi ini semestinya membawa pengertian lebih terhadap keseharian kehidupan penduduk. Ini hal krusial untuk perubahan,” ungkap Rode.
Rode mengungkapkan data jumlah penduduk pada waktu puncak—siang hari pada jam-jam kerja ketika mereka yang tinggal di pinggiran kota masuk ke kota. Mumbai, India, adalah salah satu kota terpadat dengan 101.066 orang per kilometer persegi (km), lalu Istanbul (Turki) dengan 68.602 orang per km, New York City 53.000 orang per km, Mexico City (48.300 orang per km), dan London sekitar 17.200 orang per km. Jakarta dari hasil sensus penduduk tahun ini, kepadatannya 14.476 per km.
Peran kota
Menurut IPCC, 75 persen emisi GRK adalah dari perkotaan, di antaranya dari konsumsi energi yang tidak efisien.
”Sepuluh kota terbesar di dunia jumlah emisinya lebih besar daripada emisi Jepang,” ujar utusan khusus perubahan iklim dari Bank Dunia, Andrew Steer (Reuters), suatu kali.
Sementara banyak kota di dunia rentan terhadap kenaikan muka air laut, apalagi jika pembangunannya dilakukan dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Kota-kota tersebut, antara lain, Jeddah (Arab), Kolkata (India), Bangkok (Thailand), Kuala Lumpur (Malaysia), Singapura (Singapura), Taipei (Taiwan), dan Jakarta. Kasus di Jakarta sebagai contoh, pembangunan gedung-gedung pencakar langit telah menyebabkan penurunan permukaan tanah sehingga Jakarta menjadi lebih rentan pada kenaikan paras muka air laut.
Pelepasan emisi GRK di kota terjadi, antara lain, karena perubahan tata guna lahan—ketika taman atau areal hijau diubah menjadi kawasan perumahan, pertokoan, dan berbagai fasilitas kota lainnya atau transportasi yang tidak efisien serta perlistrikan untuk perumahan dan perkantoran/pertokoan.
”Jika kegiatan produksi di suatu kota dipindahkan ke kota lain, tidak berarti emisi GRK dikurangi. Itu menipu karena emisi yang sama jumlahnya tetap ada, tetapi lokasinya saja yang berpindah,” ujar Rode menanggapi fenomena pemindahan pabrik-pabrik dari satu negara ke negara lainnya.
Menurut Rode, komponen-komponen kunci yang berpengaruh terhadap emisi GRK kota, di antaranya kepadatan kota, distribusi penduduk dan aktivitas, infrastruktur transportasi, serta ukuran kota. Kepadatan yang dimaksud adalah jarak antara permukiman dan perkantoran. ”Jika didekatkan, ini akan mengurangi pergerakan dan menurunkan penggunaan bahan bakar karena orang bisa berjalan kaki sehingga emisi dari kendaraan bermotor berkurang,” tutur Rode.
Demikian juga ketika infrastruktur transportasi dikembangkan dengan baik, orang berpikir mana lebih menguntungkan? ”Naik kendaraan umum dengan waktu tempuh lebih pasti atau naik kendaraan bermotor sendiri yang bisa terkena macet,” ujarnya.
Sekarang di Eropa dibangun citra ”bersepeda itu sehat”. Kini kota-kota seperti Kopenhagen (Denmark) dan Amsterdam (Belanda) sudah menjadi ”kota sepeda”. Di bidang perumahan, di berbagai kota di dunia diperkenalkan penerapan insulasi yang baik sehingga penggunaan alat pengatur suhu udara dalam rumah bisa dikurangi. Demikian pula pemenuhan kebutuhan energi dengan tenaga matahari.
Para pemimpin 40 kota besar pada 2006 mengikat kemitraan dengan tekad mengurangi emisi GRK (baca: emisi karbon) dan meningkatkan efisiensi energi. Mereka disebut sebagai C40.
Dari berbagai kota yang mengikatkan diri dalam C40—diprakarsai yayasan Clinton Climate Initiative—sudah ada beberapa yang menerapkan pembangunan berkelanjutan dengan mengurangi konsumsi energinya.
Di antaranya Kopenhagen, 97 persen energinya berasal dari pengolahan limbah sampah, sementara Den Haag (Belanda) menggunakan air laut untuk pemanas rumah.
Untuk masalah transportasi, Tirana, ibu kota Albania, mendapatkan pujian sebagai pemilik sistem transformasi paling berkelanjutan, sementara kota Stockholm, Swedia, telah berhasil mengurangi emisinya sebanyak 200.000 ton per tahun dengan kendaraan berbahan bakar energi bersih. Di Oslo, Norwegia, dipasang 10.000 lampu jalan yang bisa mengurangi konsumsi energi hingga 70 persen dan mengurangi emisi GRK 1.440 ton CO.
Peserta dari India, Jayanta Basu, menegaskan, persoalan kota dan perubahan iklim yang tak kunjung selesai antara lain disebabkan oleh mental sulit berubah masyarakat kota, masyarakat kota disibukkan oleh aktivitas tinggi sebagai rutinitas mereka, pemerintah yang tidak meletakkan isu ini sebagai isu penting dan prioritas, serta rendahnya akses masyarakat terhadap isu tersebut yang sebenarnya mengancam masa depan mereka.
Hal serupa menghinggapi Jakarta. Kini kita tinggal menunggu kiprah Jakarta. Apa guna menjadi anggota C40? Sekadar sebagai atribut ataukah memang bertujuan untuk menjadi salah satu kota besar dunia yang berkelanjutan? Sebagai catatan: berbagai proyek terkait transportasi ternyata mangkrak dan yang sudah adapun tetap amburadul.…
Komentar