KONDISI AIR TANAH KITA
Jangan salah baca, tulisan di sini berjudul KONDISI AIR TANAH KITA, bukan kondisi Tanah Air Kita, beda posisi beda arti. Kenapa saya mengajak untuk bicara tentang air tanah?
Tuhan menciptakan bumi, sebenarnya terdiri atas air dan tanah, air memiliki luasan yang jauh lebih besar. Lihat saja sekeliling kita, diselimuti dengan lautan, tetapi ternyata hanya sebagian kecil dari jumlah air tersebut yang bisa kita manfaatkan untuk konsumsi sehari-hari dengan mudah – yiatu hanya sekitar 2%nya saja dari total air yang ada di bumi ini yang bisa dimanfaatkan secara langsung tanpa diproses lebih dahulu.
Menurut penelitian, konon perbandingan kebutuhan air dengan ketersediaan air yang akan kita gunakan untuk wilayah Pulau Jawa sudah pada posisi 1 berbanding 1,5. Artinya, ketersediaannya hanya 2/3 dari penggunaan (istilah dagangnya, sudah tekor), maka wajarlah kalau banyak sumur yang sudah mulai kering pada bulan September sd Desember. Orang Jawa bilang September = sat-sating sumber (keringnya air).
Harga air, khusunya air minum dalam kemasan, baik yang berupa gelas, botol ataupun galon, sudah mahal sekali untuk ukuran wilayah yang dikelilingi lautan, dan selalu banjir apabila musim hujan datang, anehkan? Banjir tapi harga air mahal.
Di Kota Semarang, ternyata tidak semua permukiman (baca = penduduk) mendapatkan akses pelayanan air bersih dari pemerintah kota. Akibatnya banyak dari mereka yang ambil air tanah melalui sumur dangkal atau sumur dalam (antara 10 hingga 40 meter di bawah permukaan tanah). Masyarakat berlomba mendalamkan sumur, agar pada saat musim kemarau masih punya air, itu bagi yang mampu, bagi mereka yang tak mampu bikin sumur dalam, terpaksa memanfaatkan air sungai (yang kotor), air sendang, dsb.
Melihat hal tersebut, dalam beberapa tahun ini, pemerintah kota Semarang mengadakan program pembuatan sumur artesis, yaitu diberikan pada wilayah-wilayah yang kesulitan mendapatkan air bersih melalui proyek yang ada di Dinas Pekerjaan Umum.
Dalam hitungan waktu yang relatif pendek, masyarakat senang karena dapat air bersih. Tetapi, apakah sudah dipikirkan oleh pemerintah kota untuk jangka panjangnya, bahwa program tersebut sebenarnya termasuk dalam kegiatan pengurasan (pengurangan) potensi air tanah yang ada di kelurahan-kelurahan yang dibantu. Mestinya ketika pemkot memberikan bantuan sumur artesis, harus sekaligus dalam satu paket pembuatan SUMUR RESAPAN atau BIOPORI di kelurahan tersebut agar ada proses KONSERVASI SUMBERDAYA AIR. Air tanah diambil untuk kebutuhan domestik, tetapi sekaligus menyiapkan instrumen untuk menjaga kelestarian air tanah di wilayah proyek.
Bayangkan kalau sekarang saja di Pulau Jawa ini, air yang tersedia sudah dikuras 1/3nya untuk subsidi kebutuhan konsumsi domestik, sebab ketersediannya hanya 2/3 dari kebutuhan, beberapa tahun lagi wilayah Jawa akan menjadi kering kerontang, sulit air, padat penduduk, banyak polusi, dsb…..wou, bisa-bisa jadi padang pasir, kasihan anak cucu kita.
Untuk itu marilah kita hemat air, masukkan air secepatnya dan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah lagi. Ingin punya halaman kering, boleh saja, tapi air jangan dibuang keluar halaman, masukkan air kedalam tanah yang ada di halaman anda. Bagi pemkot, ayo jangan hanya bikin proyek sumur artesis, perbanyak proyek sumur resapan, biopori, dan sejenisnya, kalau perlu tiap kelurahan harus punya sendang untuk menampung air agar tidak menjadi banjir dan terbuang percuma – sulitkah? Asal ada kemauan, pasti ada jalan, selamat mencoba.
(tulisan ini sudah dimuat di SUARA WARGA - suaramerdeka cybernews)
Parfi Khadiyanto
parfikh@gmail.com
Tuhan menciptakan bumi, sebenarnya terdiri atas air dan tanah, air memiliki luasan yang jauh lebih besar. Lihat saja sekeliling kita, diselimuti dengan lautan, tetapi ternyata hanya sebagian kecil dari jumlah air tersebut yang bisa kita manfaatkan untuk konsumsi sehari-hari dengan mudah – yiatu hanya sekitar 2%nya saja dari total air yang ada di bumi ini yang bisa dimanfaatkan secara langsung tanpa diproses lebih dahulu.
Menurut penelitian, konon perbandingan kebutuhan air dengan ketersediaan air yang akan kita gunakan untuk wilayah Pulau Jawa sudah pada posisi 1 berbanding 1,5. Artinya, ketersediaannya hanya 2/3 dari penggunaan (istilah dagangnya, sudah tekor), maka wajarlah kalau banyak sumur yang sudah mulai kering pada bulan September sd Desember. Orang Jawa bilang September = sat-sating sumber (keringnya air).
Harga air, khusunya air minum dalam kemasan, baik yang berupa gelas, botol ataupun galon, sudah mahal sekali untuk ukuran wilayah yang dikelilingi lautan, dan selalu banjir apabila musim hujan datang, anehkan? Banjir tapi harga air mahal.
Di Kota Semarang, ternyata tidak semua permukiman (baca = penduduk) mendapatkan akses pelayanan air bersih dari pemerintah kota. Akibatnya banyak dari mereka yang ambil air tanah melalui sumur dangkal atau sumur dalam (antara 10 hingga 40 meter di bawah permukaan tanah). Masyarakat berlomba mendalamkan sumur, agar pada saat musim kemarau masih punya air, itu bagi yang mampu, bagi mereka yang tak mampu bikin sumur dalam, terpaksa memanfaatkan air sungai (yang kotor), air sendang, dsb.
Melihat hal tersebut, dalam beberapa tahun ini, pemerintah kota Semarang mengadakan program pembuatan sumur artesis, yaitu diberikan pada wilayah-wilayah yang kesulitan mendapatkan air bersih melalui proyek yang ada di Dinas Pekerjaan Umum.
Dalam hitungan waktu yang relatif pendek, masyarakat senang karena dapat air bersih. Tetapi, apakah sudah dipikirkan oleh pemerintah kota untuk jangka panjangnya, bahwa program tersebut sebenarnya termasuk dalam kegiatan pengurasan (pengurangan) potensi air tanah yang ada di kelurahan-kelurahan yang dibantu. Mestinya ketika pemkot memberikan bantuan sumur artesis, harus sekaligus dalam satu paket pembuatan SUMUR RESAPAN atau BIOPORI di kelurahan tersebut agar ada proses KONSERVASI SUMBERDAYA AIR. Air tanah diambil untuk kebutuhan domestik, tetapi sekaligus menyiapkan instrumen untuk menjaga kelestarian air tanah di wilayah proyek.
Bayangkan kalau sekarang saja di Pulau Jawa ini, air yang tersedia sudah dikuras 1/3nya untuk subsidi kebutuhan konsumsi domestik, sebab ketersediannya hanya 2/3 dari kebutuhan, beberapa tahun lagi wilayah Jawa akan menjadi kering kerontang, sulit air, padat penduduk, banyak polusi, dsb…..wou, bisa-bisa jadi padang pasir, kasihan anak cucu kita.
Untuk itu marilah kita hemat air, masukkan air secepatnya dan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah lagi. Ingin punya halaman kering, boleh saja, tapi air jangan dibuang keluar halaman, masukkan air kedalam tanah yang ada di halaman anda. Bagi pemkot, ayo jangan hanya bikin proyek sumur artesis, perbanyak proyek sumur resapan, biopori, dan sejenisnya, kalau perlu tiap kelurahan harus punya sendang untuk menampung air agar tidak menjadi banjir dan terbuang percuma – sulitkah? Asal ada kemauan, pasti ada jalan, selamat mencoba.
(tulisan ini sudah dimuat di SUARA WARGA - suaramerdeka cybernews)
Parfi Khadiyanto
parfikh@gmail.com
Komentar
Sangat bermanfaat...