Lapangan Kampung
Ali Sadikin dalam membangun Jakarta menyatakan: Saya bangun Lapangan Monas, saya bangun Ancol. Saya sengaja melarang orang yang lagi pacaran diganggu………….kalau you masuk kampung, satu kamar berjejal dari kakek, nenek, sampai cucu jadi satu, di mana mau pacaran?.......(Politik Kota dan Hak-hak Warga Kota, Chris Verdiansyah - 2006). Di kalangan masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah ada semacam pameo: Kuto tanpo alun-alun dudu kuto, Kampung tanpo lapangan dudu kampung, omah tanpo latar dudu omah (Kota tanpa alun-alun/lapangan luas, bukanlah kota; kampung tanpa lapangan bukanlah kampung, dan rumah tanpa halaman bukanlah rumah).
Ali Sadikin melihat kenyataan kondisi Jakarta pada saat itu, bahwa ternyata Jakarta sudah tidak memiliki lahan untuk dijadikan lapangan di kampung-kampung saat itu, maka dia berusaha menciptakan lapangan kota untuk warga kampung di Jakarta dengan membangun Ancol dan Monas, agar menjadi lapangan untuk warga kota Jakarta.
Kalau menurut heirarki kebutuhan manusia dalam teori Maslow, yaitu dari kebutuhan fisiologis; kemudian kebutuhan keamanan dan perlindungan; kebutuhan afiliasi; kebutuhan penghargaan; dan kebutuhan aktualisasi diri, maka semestinya kota yang baik harus bisa memenuhi lima urutan kebutuhan dasar manusia tersebut. Dari bukunya J. Lang (1994), disebutkan bahwa kebutuhan fisiologis itu bisa diartikan pemenuhan masyarakat akan kebutuhan air bersih, udara sejuk, pangan, sandang yang cukup, dan papan yang memadai. Sudahkah kota-kota di Indonesia memenuhi hal tersebut, lihat saja, pencemaran udara semakin hari semakin meningkat, para pengguna jalan termasuk Polisi lalu lintas harus menutup wajahnya dengan masker agar tidak terkena polusi debu dan asap kendaraan; air yang kita ambil dari dalam tanah, sudah banyak orang yang meragukan akan kualitasnya, sehingga untuk kebutuhan minum, banyak warga kota yang membeli air sulingan yang diproses dengan menstrerilkan air tersebut (air minum dalam kemasan). Yang paling parah adalah ketersediaan papan untuk tempat tinggal, banyak warga yang tinggal di tempat yang kurang layak untuk dihuni. Kekurang layakan ini antara lain, seringnya kena banjir, rawan terhadap longsor, atau merupakan tempat endemi penyakit tertentu karena kotor, dekat pembuangan sampah, dibawah tebing yang bagian atas tebing digunakan untuk makam. Pekerjaan rumah pemerintah kota ternyata banyak yang belum tertangani dari satu sisi kebutuhan, yaitu kebutuhan fisiologis saja. Kalau kita melihat makna kebutuhan akan afiliasi, maka kota harus menyediakan ruang, prasarana, dan suasana yang kondusif untuk terwujudnya keakraban hubungan sosial (J. Lang, 1994). Apakah kampung kota kita kini ada tempat atau lapangan yang bisa dijadikan sebagai tempat bermain dan tempat berkumpul warga?
Keberadaan lapangan, disamping punya fungsi sebagai tempat pengembangan sosial, juga dapat berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan fisiologis, khususnya udara bersih dan air. Dengan adanya lapangan, biasanya ditumbuhi pepohonan, hal ini akan menyejukkan suasana lingkungan, kalau musim hujan sekaligus dapat menjadi tempat untuk resapan air, sehingga pada musim kemarau tidak kekeringan, dan pada musim hujan tidak kebanjiran, apalagi kalau di lapangan tersebut dibuat sumur resapan bagi rumah-rumah yang berada dekat lapangan. Dengan banyaknya suply air ke dalam tanah, maka hal ini akan meningkatkan kualitas dan kuantitas air yang ada di dalam tanah. Kalau jumlah air cukup, maka belanja keluarga akan lebih hemat, tidak harus membeli air sulingan/kemasan untuk kebutuhan minum, yang harganya sekitar Rp 3000/galon, dalam 1 bulan bisa menghabiskan 12 galon untuk 5 jiwa/KK. Uang belanja hemat, akhirnya bisa nabung, dan dari tabungan bisa digunakan untuk memperbaiki lingkungan permukimannya. Jadi dengan adanya lapangan bisa terjadi peningkatan kualitas hidup. Maka dari itu sudah saatnya pemerintah kota mulai menata lingkungan, terutama pada komplek permukiman baru diwajibkan untuk membangun lapangan lebih dahulu, bukan membangun rumah. Hal ini sejalan dengan Perda tentang Ruang Terbuka Hijau yang baru saja ditetapkan.
Ali Sadikin melihat kenyataan kondisi Jakarta pada saat itu, bahwa ternyata Jakarta sudah tidak memiliki lahan untuk dijadikan lapangan di kampung-kampung saat itu, maka dia berusaha menciptakan lapangan kota untuk warga kampung di Jakarta dengan membangun Ancol dan Monas, agar menjadi lapangan untuk warga kota Jakarta.
Kalau menurut heirarki kebutuhan manusia dalam teori Maslow, yaitu dari kebutuhan fisiologis; kemudian kebutuhan keamanan dan perlindungan; kebutuhan afiliasi; kebutuhan penghargaan; dan kebutuhan aktualisasi diri, maka semestinya kota yang baik harus bisa memenuhi lima urutan kebutuhan dasar manusia tersebut. Dari bukunya J. Lang (1994), disebutkan bahwa kebutuhan fisiologis itu bisa diartikan pemenuhan masyarakat akan kebutuhan air bersih, udara sejuk, pangan, sandang yang cukup, dan papan yang memadai. Sudahkah kota-kota di Indonesia memenuhi hal tersebut, lihat saja, pencemaran udara semakin hari semakin meningkat, para pengguna jalan termasuk Polisi lalu lintas harus menutup wajahnya dengan masker agar tidak terkena polusi debu dan asap kendaraan; air yang kita ambil dari dalam tanah, sudah banyak orang yang meragukan akan kualitasnya, sehingga untuk kebutuhan minum, banyak warga kota yang membeli air sulingan yang diproses dengan menstrerilkan air tersebut (air minum dalam kemasan). Yang paling parah adalah ketersediaan papan untuk tempat tinggal, banyak warga yang tinggal di tempat yang kurang layak untuk dihuni. Kekurang layakan ini antara lain, seringnya kena banjir, rawan terhadap longsor, atau merupakan tempat endemi penyakit tertentu karena kotor, dekat pembuangan sampah, dibawah tebing yang bagian atas tebing digunakan untuk makam. Pekerjaan rumah pemerintah kota ternyata banyak yang belum tertangani dari satu sisi kebutuhan, yaitu kebutuhan fisiologis saja. Kalau kita melihat makna kebutuhan akan afiliasi, maka kota harus menyediakan ruang, prasarana, dan suasana yang kondusif untuk terwujudnya keakraban hubungan sosial (J. Lang, 1994). Apakah kampung kota kita kini ada tempat atau lapangan yang bisa dijadikan sebagai tempat bermain dan tempat berkumpul warga?
Keberadaan lapangan, disamping punya fungsi sebagai tempat pengembangan sosial, juga dapat berfungsi untuk pemenuhan kebutuhan fisiologis, khususnya udara bersih dan air. Dengan adanya lapangan, biasanya ditumbuhi pepohonan, hal ini akan menyejukkan suasana lingkungan, kalau musim hujan sekaligus dapat menjadi tempat untuk resapan air, sehingga pada musim kemarau tidak kekeringan, dan pada musim hujan tidak kebanjiran, apalagi kalau di lapangan tersebut dibuat sumur resapan bagi rumah-rumah yang berada dekat lapangan. Dengan banyaknya suply air ke dalam tanah, maka hal ini akan meningkatkan kualitas dan kuantitas air yang ada di dalam tanah. Kalau jumlah air cukup, maka belanja keluarga akan lebih hemat, tidak harus membeli air sulingan/kemasan untuk kebutuhan minum, yang harganya sekitar Rp 3000/galon, dalam 1 bulan bisa menghabiskan 12 galon untuk 5 jiwa/KK. Uang belanja hemat, akhirnya bisa nabung, dan dari tabungan bisa digunakan untuk memperbaiki lingkungan permukimannya. Jadi dengan adanya lapangan bisa terjadi peningkatan kualitas hidup. Maka dari itu sudah saatnya pemerintah kota mulai menata lingkungan, terutama pada komplek permukiman baru diwajibkan untuk membangun lapangan lebih dahulu, bukan membangun rumah. Hal ini sejalan dengan Perda tentang Ruang Terbuka Hijau yang baru saja ditetapkan.
Komentar