PERUBAHAN IKLIM
Iklim adalah esensi kehidupan. Oleh karena itu, dalam perspektif derajat kualitas hidup sebagai mahluk hidup, iklim menjadi bagian amat penting untuk terpenuhinya hak asasi paling dasar yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Pemanasan global, seperti dilaporkan pakar Intergovernmental Panel on Climate Change - 2007, akan menyebabkan naiknya suhu permukaan Bumi pada lima tahun mendatang plus dampak lanjutan berupa kegagalan panen, kelangkaan air, tenggelamnya daerah pesisir, merebaknya wabah penyakit berbahaya, banjir, dan kekeringan.
Diperkirakan Asia akan terkena dampak paling parah, produksi pertanian China dan Banglades akan anjlok 30 persen, India akan mengalami kelangkaan air, dan 100 juta rumah warga pesisir akan tergenang. Pada tahun-tahun terakhir bencana iklim telah mengambil nyawa lebih dari tiga juta orang di dunia, 800 juta korban, dan kerusakan langsung yang melebihi 23 miliar dollar AS. Dari semua kerusakan itu, 90 persen terjadi di negara-negara berkembang.
Kita lihat, semua dampak yang akan muncul diakibatkan perubahan iklim itu terkait masalah Hak Hidup Manusia, khususnya hak yang tercantum dalam konvensi internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Sifat perubahan iklim tidak mengenal batas negara. Begitu pula distribusi dan dampaknya, bahkan akan menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan antarmanusia ataupun antarnegara.
Negara-negara industri yang kaya, terutama AS, adalah penyumbang terbesar gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim. Yang perlu diingat, mereka bisa mencapai kemakmuran untuk memenuhi tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan hak atas ekonomi sosial dan budaya warganya, tidak bisa dilepaskan dari pengabaian mereka atas hak-hak yang hilang dari warga negara yang lain yang hidup di negara berkembang. Salah satu ketidakadilan itu, misalnya, AS, Kanada, dan Eropa (20,1 persen dari total warga dunia) mengonsumsi 59,1 persen energi dunia. Adapun warga Afrika dan Amerika Latin (21,4 persen dari populasi dunia) hanya mengonsumsi 10,3 persen.
Fatalnya lagi, dalam konteks perubahan iklim, cara pandang negara di utara bahwa dengan meng-uangkan tanggung jawab pelanggaran dan kerusakan yang dilakukan itu, dengan cara memberi proyek reservasi, dsb, sudah dianggap sebagai jawaban dari tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi semua proses pemanasan global dan pelanggaran yang mereka lakukan. Padahal kenyataannya, inilah bentuk pengingkaran dari tanggung jawab dan keadilan iklim itu sendiri karena telah menafikan banyak hal, terutama terkait dengan kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan kehidupan.
Krisis dan masalah pemanasan global merupakan problem struktural yang terkait pada orientasi, kebijakan, strategi, dan urgensi kemanusiaan yang dihadapkan ke seluruh manusia tanpa terkecuali.
Krisis dan masalah pemanasan global merupakan problem ekonomi dan politik global, nasional, serta lokal yang bersentuhan langsung dengan semua hak dan sektor penghidupan yang lain.
Krisis dan masalah pemanasan global merupakan problem yang terkait dengan ketimpangan, dominasi, dan kurangnya akses orang, kelompok, serta negara terhadap sumber daya global, nasional, dan lokal. Tiap warga negara harus menyadari dan memiliki hak dalam kehidupan dan pembangunan negara dan dunia.
Parfi Kh: pemerhati masalah Lingkungan Hidup & Tata Ruang
Diperkirakan Asia akan terkena dampak paling parah, produksi pertanian China dan Banglades akan anjlok 30 persen, India akan mengalami kelangkaan air, dan 100 juta rumah warga pesisir akan tergenang. Pada tahun-tahun terakhir bencana iklim telah mengambil nyawa lebih dari tiga juta orang di dunia, 800 juta korban, dan kerusakan langsung yang melebihi 23 miliar dollar AS. Dari semua kerusakan itu, 90 persen terjadi di negara-negara berkembang.
Kita lihat, semua dampak yang akan muncul diakibatkan perubahan iklim itu terkait masalah Hak Hidup Manusia, khususnya hak yang tercantum dalam konvensi internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Sifat perubahan iklim tidak mengenal batas negara. Begitu pula distribusi dan dampaknya, bahkan akan menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan antarmanusia ataupun antarnegara.
Negara-negara industri yang kaya, terutama AS, adalah penyumbang terbesar gas rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim. Yang perlu diingat, mereka bisa mencapai kemakmuran untuk memenuhi tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan hak atas ekonomi sosial dan budaya warganya, tidak bisa dilepaskan dari pengabaian mereka atas hak-hak yang hilang dari warga negara yang lain yang hidup di negara berkembang. Salah satu ketidakadilan itu, misalnya, AS, Kanada, dan Eropa (20,1 persen dari total warga dunia) mengonsumsi 59,1 persen energi dunia. Adapun warga Afrika dan Amerika Latin (21,4 persen dari populasi dunia) hanya mengonsumsi 10,3 persen.
Fatalnya lagi, dalam konteks perubahan iklim, cara pandang negara di utara bahwa dengan meng-uangkan tanggung jawab pelanggaran dan kerusakan yang dilakukan itu, dengan cara memberi proyek reservasi, dsb, sudah dianggap sebagai jawaban dari tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi semua proses pemanasan global dan pelanggaran yang mereka lakukan. Padahal kenyataannya, inilah bentuk pengingkaran dari tanggung jawab dan keadilan iklim itu sendiri karena telah menafikan banyak hal, terutama terkait dengan kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan kehidupan.
Krisis dan masalah pemanasan global merupakan problem struktural yang terkait pada orientasi, kebijakan, strategi, dan urgensi kemanusiaan yang dihadapkan ke seluruh manusia tanpa terkecuali.
Krisis dan masalah pemanasan global merupakan problem ekonomi dan politik global, nasional, serta lokal yang bersentuhan langsung dengan semua hak dan sektor penghidupan yang lain.
Krisis dan masalah pemanasan global merupakan problem yang terkait dengan ketimpangan, dominasi, dan kurangnya akses orang, kelompok, serta negara terhadap sumber daya global, nasional, dan lokal. Tiap warga negara harus menyadari dan memiliki hak dalam kehidupan dan pembangunan negara dan dunia.
Parfi Kh: pemerhati masalah Lingkungan Hidup & Tata Ruang
Komentar